39 - Kado Terbaik

20.1K 2.5K 124
                                    

Masih semangat kan?
Silakan dibaca...

♥️♥️♥️

***
Pagi-pagi sekali aku dan Mas Angga bertolak dari pelabuhan menuju Singapura menggunakan ferry. Rasanya baru saja duduk kami sudah tiba di tujuan, sedekat itu. Mas Angga bilang jarak dari Batam ke Singapura memang dekat, bahkan katanya kalau kami berlomba : aku dari Batam ke Singapura dan dia dari rumahnya menuju kampus, aku akan lebih dulu sampai.

Beruntungnya masyarakat Batam bisa keluar negeri sesering yang mereka mau.

Tadi subuh sebelum kami beranjak dari hotel, Mas Angga sempat memergokiku tengah berkutat dengan laptop saat ia masuk ke kamarku. Dia sempat akan protes namun dengan kekuatan rayuan – yang belum pernah kupraktekkan pada siapapun selain Chandra – aku membujuknya agar jangan marah. Untungnya berhasil.

"Jangan ngambek, Mas. Programnya udah selesai, ini sedang mengirim email." Aku mengatakan hal itu disertai dengan senyuman terbaik yang kupunya. Koneksi internet sempat tersendat sehingga lampiran file program.exe yang ku-attach belum selesai terunggah.

"Siapa juga yang ngambek," sangkalnya padahal sudah jelas dari raut wajahnya. Masih saja menyanggah.

"Padahal kalo nggak ngambek, Mas lebih cakep dari Pak Fadil."

"Kenapa jadi bawa-bawa Fadil?"

"Oopss ... sengaja."

Seketika itu juga kedua tangannya merengkuh pinggangku, menarikku mendekat ke arahnya. Awalnya kukira tubuhku lagi-lagi akan jatuh ke pelukannya, tapi sayang. Dugaanku salah. Yang terjadi adalah, kedua tangannya menggelitik pinggangku brutal. Sontak saja pekikan dan tawa melengking bersamaan dari mulutku, berkali-kali. Aku mencoba menjauhkan tubuhku darinya, menggeliat sekuat yang kubisa namun tetap saja dia bisa menggelitikiku tanpa ampun. Saat air mataku mulai keluar, akhirnya aku menyerah.

"Ampun, Maaaassss," pekikku sekali lagi.

"Jadi siapa yang lebih ganteng? Mas atau Fadil?"

"Mas ... Fadil."

"APA?!!!"

Aku tertawa dan mengambil kesempatan melarikan diri darinya kemudian bersembunyi di kamar mandi. Dia tidak tidak mengejarku tapi aku belum berani keluar dari tempat persembunyian. Setelah beberapa saat tidak lagi terdengar ada suara, aku menyembulkan kepala di sela pintu. Mas Angga yang tadinya berdiri sudah duduk di pinggir ranjang sambil memandang laptopku.

"Mas nggak perlu cemburu. Aku di sini, itu artinya siapapun yang lebih ganteng di luaran sana aku tetap memilih kamu."

Sebuah senyuman yang selalu mampu membuatku terpana perlahan terbit. Diiringi sepasang lesung pipi yang mencekung sempurna dan kerutan tawa sekitar mata. Tatapannya hangat tertuju tepat padaku, memerangkap kedua bola mataku, begitu membius. Wah, aku lupa dia bisa begitu memikat kalau mau.

"Kamu belajar gombal darimana?"

Kuarahkan telunjukku tepat padanya. "Aku belajar dari ahlinya," dia selalu menggombaliku bahkan sejak dulu sebelum aku tahu itu dia. Yah, ditambah ilmu dari sang buaya, Pak Bagas. Komplit sudah.

Kami berdua tenggelam dalam derai tawa, begitu menyenangkan. Dia memintaku mendekat namun aku menolak, takut akan terkena serangan gelitikannya lagi. Akhirnya setelah ia berjanji tidak akan mengulanginya, aku keluar dari kamar mandi dan menghampirinya.

"Sudah mandi? Kita harus segera berangkat."

"Sudah dong, tinggal ganti baju aja."

"Oke, sana siap-siap." Perintahnya. Penampilannya sudah rapi, berbeda denganku yang masih mengenakan kaos rumahan nyaman.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang