8 - Janji Temu

23.8K 3K 123
                                    

Bab 8

Jika aku punya daftar hal-hal yang kubenci, maka inilah nomor satunya. Menunggui orang yang ingkar janji. Tepat janji selalu kujadikan salah satu tolak ukur penilaian seberapa besar seseorang bisa dipercaya. Sebab janji itu memang cuma diikrarkan oleh lidah, tapi butuh seluruh anggota tubuh dan juga niat untuk menepatinya. Juga perlu sekian banyak rasa percaya untuk mendengarkannya.

Kadang, janji bisa menjelma menjadi kebohongan termanis. Terlampau banyak hal yang dapat dijanjikan tapi tidak bisa dilaksanakan. Yah, ujung-ujungnya janji yang begini serupa balon udara warna warni yang indah, sayang isinya angin kosong. Begitu meledak hanya bikin hati kacau pikiran risau.

Ini lah yang kami alami. Saat ini, aku, Rama dan Amara membuang waktu percuma terduduk manis di Prolog menunggu Pak Angga yang entah kemana rimbanya. Sudah satu jam terlewati namun tak juga ada kabar berita, apakah dia masih hidup atau sudah di alam baka? Ck, pikiranku mulai murka.

"Gak ada kabar, Ram?" ini kali ketiga aku bertanya pertanyaan yang sama. Rama kembali menjawab dengan gelengan samar.

"Telpon aja Ram." Usul Amara.

"Iya, telpon aja. Masa iya kita dibiarin nunggu begini. Gak ada berita apa-apa. Kalau gak bisa diskusi ya bilang aja. Gak usah gini juga caranya. Gak elegan."

"Udah gue telpon, tapi gak diangkat."

"Chat coba."

"Chat gue udah terkirim, tapi belum dibaca."

Kuhela napas pasrah menyandarkan badan ke kursi. Enak ya jadi dosen, bisa php-in mahasiswa sesukanya. Tapi giliran mahasiswa yang terlambat, siap-siap aja kena bencana. Memang saat ini posisinya kami yang butuh beliau. Tapi bukan berarti beliau bisa semena-mena begini, gak fair. Kalau dari awal beliau memang enggan membantu kami ya gak masalah. Jalan keluarnya bisa kami pikirkan.

Kalau sudah begini, kami bisa apa? Menghubungi tidak bisa. Bertanya kemana, tidak tahu. Sampai kapan menunggu juga tidak jelas. Haaaa....

Padahal penilaianku terhadap beliau selama ini baik-baik saja, apalagi tadi malam beliau dengan baik hatinya membayarkan belanjaanku. Tidak ada tindakan beliau yang mengindikasikan bahwa dia keberatan bertemu pagi ini. Makanya sekarang kami kewalahan.

Bukan hanya aku, Amara sudah misuh-misuh sejak setengah jam lalu. Sama sepertiku, Amara lebih suka menghabiskan waktu Sabtu paginya dengan membaringkan diri di kasur kalau gak ada jadwal kelas. Meskipun Amara punya pacar, tapi dia baru mau diajak jalan menjelang siang atau sore sekalian.

"Ya udah gini aja. Kita tunggu setengah jam lagi, kalau dia belum muncul dan masih gak ada kabar, kita cabut." Rama sepertinya sudah mulai gelisah.

Jam sudah menunjukkan 30 menit berlalu dari jam 11 dan itu artinya kami sudah menunggu selama satu setengah jam. Tiga puluh menit lagi Pak Angga gak muncul, kami akan pergi saja dari sini.

Saat kami mulai pasrah dan bersiap akan pergi, Pak Angga terlihat memasuki area café berjalan ke meja kami sambil menyugar rambutnya. Ditungguin dari tadi gak datang-datang, giliran mau pulang baru nongol.

"Maaf ya, saya ada keperluan tadi." Ucapnya sambil menarik kursi dan duduk bergabung bersama kami. Untunglah masih mau minta maaf.

"Iya Pak, gapapa." Ucapan Rama sungguh omong kosong. Dari tadi dia paling sibuk memaki, sekarang malah senyum tanpa dosa.

"Iih, Bapak... kita tuh nungguin. Bapak darimana aja?" Lha, dari tadi Amara marah-marah sekarang malah manja-manja. Kulirik dirinya dengan tatapan paling sengit yang kupunya. Kok bisa sikapnya berubah 180 derajat dalam tempo sesingkat itu?

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang