16 - A Deal

20.2K 3.1K 66
                                    

Halo...

Tolong masukan dan kritiknya ya..

Thank you...

Makan siang berduaan di kantin Rumah Sakit dengan dokter muda paling hits saat jam ramai bukanlah ide bagus. Sejak awal kami tiba hingga saat ini pak Angga terus menjadi pusat perhatian. Dianya biasa aja, aku yang kewalahan. Jiper.

Setiap memandang ke satu arah, ada saja wanita yang memperhatikan entah itu perawat, atau keluarga pasien yang kebetulan makan di kantin ini. Berbeda denganku, pak Angga makan dengan santai seolah dia sendirian disini. Eh ralat, berdua denganku sebab sejak awal dia selalu melibatkanku dalam obrolan, tidak cuek ataupun memainkan hpnya selama makan. What a gentleman.

"Astaga, Pak. Saya baru ingat." Refleks aku menepuk jidat."Saya masih ada hutang ke bapak. Mumpung saya ingat dan dompet saya lagi berisi, saya mau lunasi."

"Gak usah."

"Gimana, Pak?"

"Saya gak perlu uang kamu."

"Maaf pak sebelumnya. Tapi saya tidak mau berhutang, akan tetap saya lunasi." Ucapku bersikeras. Ini prinsip, aku gak mau tersangkut hutang apalagi hutang budi.

"Apa kita perlu berdebat tentang hal ini? Karena saya gak keberatan."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ya, Pak. Ini prinsip. Kalau memang terpaksa berdebat, kenapa tidak?" Kutatap beliau tegas, menunjukkan kesungguhanku.

Beliau terdiam sejenak, memikirkan sesuatu.

"Kalau gitu kamu bisa ganti yang lain."

"Misalnya, Pak?"

"Buatkan saya makan siang menu yang sama seperti kamu buat kemarin. Dan, harus buatan kamu. Deal?"

Permintaannya tidak sulit, kalau dengan begitu hutangku bisa lunas kenapa tidak.

"Deal." Aku mengagguk mantap mengiyakan setelah berjanji akan membuatkannya makan siang pada pertemuan kuliah selanjutnya.

"Wah, pantesan makan nggak ngajak-ngajak. Ada yang nemenin ternyata, jadi lupa teman sendiri." Aku berbalik ke sumber suara dan terkejut mendapati bu Tanaya ada di hadapan kami.

"Selamat siang, bu Tanaya. Mari makan Bu," ucapku mencoba beramah tamah dengan nyonya Fadil. Beliau mengenakan blouse lengan pendek dengan celana bahan panjang dan ID card dokter tergantung di leher jenjangnya. Tapi entah kenapa kesannya terlihat elegan, selalu begitu. Seolah apapun yang beliau kenakan akan selalu terlihat mahal. Cantik banget sih si ibu. Wajar pak Fadil jatuh hati.

Wait, kenapa bu Naya ada di rumah sakit ini? Beliau dokter di sini juga?

"Kirain lo udah makan. Duduk Nay."

"Nggak ah, malah ganggu dong gue." Bu Naya kemudian menatapku, "Hai Hana, sering-sering aja mampir kesini, ada yang happy," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata padaku. Aku hanya mengangguk sopan menanggapi ucapannya.

"Gue gabung sama yang lain aja disana, Ga. Dah Hana..."

"Dah.. Bu.." jawabku sambil melambaikan tangan untuknya.

"Bu Naya disini juga, Pak?"

"Iya, dia tugas di poli anak."

Wah, udah cantik pinter lagi. Jelas aja pak Fadil tergila-gila. Kalau diukur pakai skala, aku dibandingkan bu Nanya paling cuma 10%nya aja.

"Bu Naya cantik banget ya, Pak." Ups! Lagi-lagi aku keceplosan. Tidak mungkin kan beliau memuji pasangan sahabatnya sendiri.

Yang kuajak bicara hanya diam tanpa menanggapi.

"Bapak udah lama kenal bu Naya?"

"Lumayan. Sekitar 2 tahunan sejak masuk kesini."

Aku mengangguk perlahan menanggapi, "Tapi sayang keduluan pak Fadil...," lirihku pelan.

"Justru saya yang mengenalkan mereka berdua."

Mendapatkan fakta baru mendadak membuatku kaget. Oh, jadi gara-gara bapak pak Fadilku nggak single lagi? Anda ternyata biang keroknya. Awas aja.

"Kenapa wajah kamu jadi keruh gitu?" Dasar pria nggak peka. Akibat perbuatan Anda pak Fadil sold out dari pasaran.

"Kenapa bapak nggak ngenalin ke Chandra aja sih?" Dengan begitu pak Fadil bisa buat saya.

"Kenapa harus?"

"Ya - ya kan saya pengen punya tante kayak bu Naya." Ucapku terbata mencari alasan logis yang bermutu.

"Waktu itu Chandra udah punya pacar, dan setau saya Tanaya bukan tipenya Chandra."

"Menurut saya nggak bakal ada pria yang bisa menolak pesona bu Naya, Pak. Dia kan cantik banget, pinter pula. Classy, elegan dan glamour." Saya aja iri, Pak. Iri dengan kecantikan beliau, iri dengan kecerdasan dan keberuntungannya bisa menaklukkan pak Fadil.

"Ada. Saya salah satunya."

Mataku menyipit menatapnya tak percaya, jangan-jangan malah bapak yang ditolak bu Naya. Atau pas bapak pedekate bu Naya, eh bu Naya naksir pak Fadil. Iya pasti begitu. Pikiran yang bersliweran di kepalaku membuat geli sendiri.

"Tiap orang punya preferensi sendiri, apalagi menyangkut pasangan. Saya juga seperti itu."

Duh, ngobrol dengan dosen kosakatanya ribet banget ya. Untung saja bekerja sebagai editor membuatku tidak asing dengan kata-kata itu.

"Dan preferensi bapak adalah?"

Beliau tidak langsung menjawab, secara perlahan matanya menatapku. Mengunci pandanganku hanya padanya. Bibirnya mengulas senyuman indah.

"Penasaran dengan saya, Hana?"

"Maaf, Pak. Gak maksud kepo." Balasku memutus kontak mata kami.

Tapi...tunggu dulu, kenapa ucapannya terdengar familiar?

***

26 - 10 - 2020

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang