40 - Proposal

20.2K 2.9K 232
                                    


Selamat membaca,
Selamat Idul Adha bagi readers yg menjalankan.
🙏🙏🙏

❤❤❤

Kesadaranku ditarik oleh sebuah sentuhan lembut yang menjalar di sepanjang rahang hingga tulang pipi. Perlahan seluruh panca inderaku menjadi awas meskipun mataku masih terlalu malas membuka kelopak. Sentuhan itu terus mendera, begitu lembut. Sentuhan tipis-tipis yang bisa membuat sekujur saraf merinding penuh antisipasi.

"Bangun, Sayang."

Otakku lebih dulu bangun daripada mata. Dari suaranya aku tahu itu bukan papa. Suara papa tidak serendah dan seseksi itu. Yang ini bernada rendah dan merdu. Membuatku ingin semakin terjerat jauh dalam bayang mimpi.

Sebuah telapak tangan ditangkupkan di pipiku, sentuhan yang tadinya ringan tergantikan oleh belaian hangat. Tangannya begitu besar. Seketika kesadaran menyentakku, Chandra dan papa tidak pernah membangunkanku seperti ini.

Calm Hana ... calm.

Aku bisa mengingat dengan jelas tadi malam kami tidur terpisah. Kami masuk kamar masing-masing setelah berpamitan sehabis menonton acara TV berdua. So, kenapa pria itu ada di kamarku pagi ini?

"Pagi, Sayang," suara lembutnya menyapa begitu aku membuka mata. Ia tersenyum lebar, begitu memikat. Ah, entah sudah berapa kali kunyatakan kalau senyumnya begitu mempesona.

"Mas. Kenapa di sini?" aku berdehem beberapa kali untuk menghilangkan suara serak khas bangun tidur. Sedetik, raut wajahnya sempat berubah, binar matanya menggelap. Namun dalam hitungan detik ia kembali bisa menormalkan ekspresinya.

Aku memindai ruangan, seluruhnya persis seperti sebelum aku terlelap tadi malam. Tidak ada tanda-tanda Mas Angga menyusul masuk setelahnya. Dengan hati-hati aku juga memindai tubuhku dan tubuhnya. Dia sudah mengenakan pakaian lengkap, sedangkan ditubuhku semuanya masih terpasang sempurna. Oke, sepertinya aku berpikir terlalu jauh.

"Kamu susah sekali dibangunkan. Mas sudah ketuk pintu berkali-kali, tapi kamu nggak menyahut. Akhirnya Mas masuk, maaf ya."

"Aku memang punya kecenderungan bangun siang tiap weekend."

"Gak apa, sounds good to me." Aneh, orangtuaku mengomel setiap kali aku bangun kesiangan. Lantas kenapa Mas Angga malah biasa aja. Oh, mungkin dia juga sering bangun siang di akhir pekan.

Aku sudah bangun sepenuhnya, tapi tangan yang menangkup pipiku belum dipindahkan. Ibu jarinya masih mengelus menandai zona nyaman, berlama-lama di sana. Aku berbaring telentang sedangkan ia berbaring miring di sebelahku bertumpu pada satu tangan.

Wajahnya begitu dekat. Dengan jarak sedekat ini aku bisa memperhatikan dengan jelas setiap detail di wajahnya. Tanpa kacamata. Dagunya yang pagi ini kembali bersih dari facial hair, bibir yang ... yang ... susah dijelaskan karena akan membuatku makin lama menatap itu. Dari posisiku ini, jelas terlihat mata coklatnya berbinar terang seakan seluruh sinar matahari pagi memantul tepat di sana.

Sepasang mata yang kini juga sedang memandangku.

Jika diperhatikan baik-baik, pacarku ganteng banget ya. Rasanya masih setengah mimpi bisa memiliki dan melihatnya sedekat ini. Kalau wajahnya pagi ini ku-posting instastory, sudah pasti penggemarnya histeris setengah mati. Tapi tidak. Tidak akan kulakukan. Pesonanya tidak boleh disebar sembarangan.

Bisa merusak tatanan kehidupan gadis labil di luaran.

Kami berpandangan dalam diam, saling enggan membuka obrolan. Tapi dengan jelas bisa kunyatakan, rasanya sungguh nyaman. Betah berlama-lama di bawah tatapannya dan sepertinya diapun merasakan hal yang sama.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang