19 - Mentally Crash

20.7K 2.9K 97
                                    

Saat perkuliahan Rekayasa Perangkat Lunak kemarin, pak Anhar bertanya tentang progres proyek masing-masing kelompok. Dari sekian banyak kelompok, tim kamilah yang progresnya paling jauh. Setidaknya laporan proyek telah kurampungkan hingga bab 2 dan bab 3 masih dalam tahap diskusi dengan pak Angga. Program yang Rama buat juga sudah jelas struktur data, algoritma dan kerangka programnya. Tinggal menyesuaikan beberapa hal sampai aplikasi tersebut running well. Nantinya setelah ditanamkan user interface barulah diujicobakan instalasi pada system operasi Android. Kami memilih Android jelas karena Sistem Operasi tersebut open source.

Sedangkan kelompok lain bahkan ada yang belum mendapatkan judul proyek, padahal waktu sudah berjalan lebih dari sebulan sejak pak Anhar memberi tugas. Ngapain aja sih mereka?

Terlebih lagi saat pak Anhar menanyakan apakah seluruh tim sudah memiliki dosen pendamping proyek atau belum. Mereka sontak panik karena tadinya berpikir hanya perlu menyelesaikan proyek saja. Syukurlah kami sudah diberitahu pak Fadil terlebih dahulu sehingga dari sekian banyak kelompok hanya kami bertiga yang kompak menjawab "Sudah, Pak" saat ditanya. Sementara kelompok lain menatap dengan iri.

Kami bertiga tersenyum jumawa. Rasanya kerja keras kami sebulan belakangan terbayar begitu melihat raut wajah puas dari pak Anhar.

"Dosen fakultas mana?"

"Fakultas Kedokteran, Pak," jelas Rama semangat.

Pak Anhar mengangguk sambil tersenyum bangga menatap kami, dalam pikiranku nilai A sudah terpampang nyata. Mudah-mudahan saja benar begitu, setidaknya beliau menghargai kerja keras kami.

Hari Rabu pagi ini seperti biasa kami bertiga menghadiri kelas pak Angga, Rama yang minggu lalu berhalangan hadir menyempatkan diri mengikuti kelas. Namun aku curiga alasannya hadir adalah karena aku. Semenjak pengakuannya tempo hari, Rama makin getol mendekatiku. Setiap hari menawariku jemputan atau pulang bareng, yang sebisa mungkin kutolak.

Dia sedang menanam budi. Yang justru membuatku merasa tak enak. Dari pada terlanjur berhutang budi lantaran menerima kebaikannya aku memilih menolak setiap tawarannya secara halus. Syukurnya alasan yang kupunya selalu banyak.

Mas Bro : Lagi kuliah?

You : Yes, malah udah duduk cantik di kelas.

Bukan hanya Rama, mas Bro juga nampaknya makin intens mengirimiku chat. Mungkin virus GR sudah mulai menyerangk sistem sarafku. Setelah membalas chatnya, kusimpan hp dan bersiap mengikuti perkuliahan.

Pak Angga memasuki kelas dan seperti biasa selalu menyapukan pandangan ke penjuru kelas sebelum memulainya. Begitu matanya menangkap kehadiran kami, beliau tersenyum singkat yang kami balas dengan anggukan.

"Pak Angga makin hari makin ganteng aja," ucap Amara dengan tatapan kagum yang tak lepas dari pak Angga.

"Ingat pacar, jangan jelalatan," bisikku membalas ucapannya.

"Ssst...jangan mulai. Kalian mau ditegur lagi seperti kejadian lalu?" Rama mengingatkan membuat kami berdua memfokuskan pandangan ke depan.

Merasa diperhatikan, aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu menemukan sepasang mata yang mengamatiku. Begitu pandangan kami bertemu dia tersenyum ramah. Ah itu Reza yang duduknya tidak seberapa jauh dari kursi kami. Setelah mengangguk dan tersenyum singkat ke arahnya, pandanganku kembali kufokuskan pada layar proyektor di depan. Ya ke layar proyektor, bukan ke dosennya.

Pak Angga memulai kelasnya dan saat beliau menjelaskan kurasakan sesekali pandangannya jatuh kearahku. Sebisa mungkin kupaku tatapanku ke depan, namun gagal. Setelah mencoba menahan rasa penasaran beberapa lama akhirnya aku memberanikan diri menatapnya dan benar saja, matanya menatapku.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang