43 - Rekonsiliasi

18.6K 2.5K 156
                                    

Halo reader,
Makasih untuk kesabarannya menunggu meski digantung berminggu-minggu.

Enjoy
❤❤❤

***

Senyum kepuasan terpancar jelas dari pantulan cermin di hadapanku. Alis mata melengkung simetris. Perona berwarna coral bekerja efektif menegaskan tulang pipi. Secara keseluruhan, riasan ini begitu memukau untuk hari istimewa. Hari pernikahan. Pernikahan Amara.

Nggak sia-sia mengorbankan waktu menemani Amara, menginap di rumahnya sejak tadi malam dan mendampingi sang calon pengantin mengikuti rangkaian prosesi acara menjelang akad nikahnya pagi ini. Sebagai imbalan aku mendapatkan riasan dari MUA, gratis. Dibayari oleh yang punya hajatan. Aku, tentu saja enggan menolak. Kapan lagi bisa mendapatkan riasan paripurna cuma-cuma.

Akad nikah dan resepsi diadakan di ballroom hotel. Kami sudah berada di ruang rias khusus pengantin sejak subuh. Prosesi acara akan diadakan mulai pukul sembilan pagi hingga pukul tiga sore nanti.

Tiga orang Make Up Artist – yang terdiri dari MUA senior dan 2 junior – telah mendandani aku dan keluarga Amara, sementara sang pengantin yang merupakan tokoh utama hari ini membutuhkan waktu paling lama. Tadinya aku sempat meminta pada MUA untuk mengaplikasikan riasan bold tebal, namun ditolak mentah-mentah.

"Nggak perlu, nanti kamu terlihat seperti tante-tante," tolak Mbak MUA atas usulanku. Padahal aku hanya ingin agar kantung mata dan tanda-tanda kegalauan sirna dari kulitku.

"Iya, Beb. Lebih bagus natural aja." Kalau si calon pengantin sudah bertitah, orang yang numpang gratisan hanya boleh mengalah.

"Gue nggak keliatan sedih kan?" tanyaku.

"Sedih kenapa? Karena gue tinggal nikah?" seringaian di wajahnya jelas-jelas mengejekku. Tapi aku tidak peduli. Bukan pernikahannya yang membuatku gundah, aku punya alasan lain yang tidak bisa kuceritakan padanya. Sampai sekarangpun Amara tidak tahu apa yang terjadi pada kehidupan internalku. Dia tahu wajahku murung beberapa hari ini. Tapi tidak tahu penyebabnya apa, dia hanya bisa menduga bahwa pernikahannya membuatku ikutan sakit kepala.

"Lo tinggal mati baru gue sedih." Bantal kursi melayang ke arahku, untungnya sempat tertangkap sebelum merusak tatanan rambutku.

Beginilah kalau hubungan tidak dipublikasikan. Jatuh cinta diam-diam, sakit hatinya juga sendirian. Hubungan kami hanya diketahui teman-teman dekatnya, bukan teman dekatku.

Positifnya, tidak akan ada yang menjejaliku dengan ribuan pertanyaan kenapa dan mengapa. Tidak ada yang mencerca dan menyalahkanku jika akhirnya hubungan kami berakhir. Tidak perlu repot-repot menjelaskan raut wajahku yang kusut. Juga tidak ada celaan atau komentar miring yang perlu kudengar.

Negatifnya, tidak ada yang bisa kujadikan teman curhat untuk menumpahkan kegalauan. Menangis sendirian, sedih sendirian, pusing memikirkan semuanya sendirian. Tidak ada tempat berbagi, karena lagi-lagi tidak ada yang tahu hubungan kami selain teman-temannya. Dialah yang selama ini kujadikan tempat berbagi cerita, berbagi seluruh masalah. Kini saat dia tidak ada, aku merasa kesepian. Benar-benar sendirian. Seolah duniaku berpusat hanya padanya.

Aku tidak tahu harus bersyukur atau menyesali hal itu.

Ini semua terasa lucu. Hariku mendadak kosong tanpa kehadirannya, tanpa pesan darinya. Sedangkan dia, tetap bisa mengikuti seminar di sana. Seolah yang terjadi antara kami hanyalah hal kecil yang akan berlalu seiring berjalannya waktu.

Ketidakhadirannya sangat berpengaruh signifikan pada perkembangan mental dan logikaku memahami materi di kelas. Logika dan rasional yang kujunjung tinggi telah lenyap beberapa hari ini. Kehadiranku di kelas hanya untuk mengisi absensi, bukan lagi menambah ilmu.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang