30 - Touch Screen

22.7K 2.9K 68
                                    

Wowwww.

Sekali lagi makasih banyak buat kalian yang udah baca Beda Segmen sejauh ini.  Baik yang nyasar, maupun yang nemu cerita ini entah dimana.

Mudah-mudahan kalian betah.
❤❤❤

***

"Bapak bilang apa ke Chandra?"

"Rahasia."

Benar-benar menyebalkan. Rasanya sudah hampir lima belas menit aku membujuknya namun hingga kini belum ada bocoran sedikitpun. Chandra memang lebih mudah dimintai ijin daripada orangtuaku, tapi tetap saja sebelum memberikan ijin dia selalu menanyakan hal detail seperti 'kemana', 'dengan siapa', 'pulang jam berapa', 'urusan apa' dan pertanyaan 5W 1H lengkap. Semua itu harus bisa dijawab dengan meyakinkan. Kalau tidak, jangan harap.

Sekarang dengan mudahnya dia malah membiarkan pak Angga membawaku. Ini keajaiban.

"Ayolah, Pak. Gimana caranya membujuk Chandra?"

"Saya punya cara sendiri." Tatapannya terpaku pada jalan, sebuah senyuman miring muncul di bibirnya. Satu tangannya berada di kemudi sedang tangan kirinya menggenggam tanganku erat.

Pemandangan pak Angga yang sedang mengemudi dengan satu tangan terlihat begitu keren. Wajahnya dari samping begitu maskulin, dengan tatapan tajam dan alis tebal yang melingkupi kedua matanya. Rambut-rambut halus di sekitar rahangnya mulai tumbuh, menimbulkan garis gelap samar dari rahang hingga dagu. Begitu seksi.

Dia memang terlihat indah dari segala sisi.

Pakaiannya sederhana, hanya jaket bomber navy yang melapisi kaos putih polos sebagai dalaman serta jeans warna senada. Simple but everything looks good on him.

"Boleh share?" kuteliti wajahnya, memuaskan mataku memandanginya.

Senyumnya makin melebar saat menggelengkan kepalanya menolak memberiku jawaban. Kesal, kulepaskan genggaman tanganku yang bertaut pas pada jemarinya, membuatnya menoleh sekilas sebelum kembali menatap jalan.

"Pelit."

"Kamu menggemaskan kalau lagi ngambek."

Menggemaskan? Aku? Apa tidak salah? Chandra sering bilang aku menyebalkan. Bukannya kesal, ucapannya justru membuatku merona. Ada apa dengan pipiku, kenapa menolak diajak kerjasama?

"Saya nggak ngambek."

"Lalu?"senyumnya berubah menjadi seringaian jahil.

"Cuma menagih janji. Kapan hari, ada yang bilang ke saya kalau tidak ada lagi kesalahpahaman dan tidak ada lagi yang ditutup – tutupi. Tapi nyatanya, dia lupa."

"Bukan lupa. Tapi orang yang kamu maksud itu sedang mengemudi, bisa kita tunda sebentar lagi?"

Kuhela napas perlahan, "Sebenarnya kita mau kemana?" tanyaku mulai terdengar tak sabar. Lawan bicaraku lagi-lagi menjawab dengan senyuman.

"Just wait and see," bisiknya lirih.

Setengah jam kemudian mobil yang kami kendarai berhenti di sebuah area cafe dan pertokoan. Di tepi jalan berjejer café yang mengusung berbagai tema dan konsep warna warni membuat pemandangan sepanjang jalan tidak monoton. Selain café terdapat pula jejeran toko-toko mulai dari perlengkapan rumah tangga dan interior dengan desain yang khas, hingga toko perlengkapan traveling.

Namun ada satu café yang tampak istimewa, bertema alam dengan sulur-sulur tanaman yang merambat sepanjang dinding dan jendela-jendela kaca tinggi mendominasi. Satu hal yang membuatnya makin menarik, di setiap bingkai jendela ada seekor kucing yang duduk anggun menatap jalan.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang