7 - Interupsi

24.2K 3.3K 202
                                    

BAB 7

Selesai belanja, kami berjalan berputar-putar memilih tempat makan. Rama ingin makan masakan nusantara sementara aku ingin restoran Jepang. Masakan nusantara sih bisa kumasak sendiri di rumah, sedangkan masakan Jepang belum tentu seminggu sekali kumakan.

"Ya udah kita ke foodcourt lantai atas aja. Di sana kan banyak varian makanan, kali aja ada restoran Jepang juga," usulnya menengahi perdebatan kami.

"Oke deh. Tapi kalau gak ada kita turun lagi ya."

"Kenapa harus masakan Jepang?"

"Masakan nasional bisa aku bikin sendiri - " aku mengela nafas pelan, " - Sementara orang rumah nggak ada yang suka masakan Jepang, jadinya aku jarang banget makan itu. Mumpung kita disini, ya aku pengen makan."

Raut wajah Rama berubah melembut dari sebelumnya. Tatapannya tak lagi bersikeras, alis matanya tak lagi menciptakan kerutan keras kepala. Barangkali dia sudah berniat mengalah, kurasa begitu.

Sesampainya di area foodcourt, aku langsung berjalan ke arah deretan stall sedangkan Rama mengekor di belakangku. Pengunjungnya ramai, tapi masih ada cukup meja kosong untuk kami tempati. Aku belum menemukan restoran sushi, yang ada hanya penjual ramen dan takoyaki.

Aku berbalik ke belakang melihat Rama yang masih menatap ke sekitar, mencari makanan favoritnya. "Ram, gak ada sushi..." ucapku sambil memelas.

Wajah Rama tak tega, tapi dari raut wajahnya kuduga dia masih tetap ingin makan masakan nusantara.

"Aku pengennya makan ayam goreng telur asin, tuh ada di resto situ."

"Yah, itu sih bisa aku bikinin." Gumamku lirih.

Yah sudahlah, apa boleh buat. Rama yang traktir, rasanya tak tahu diri saja kalau aku malah bertingkah.

"Kamu beneran bisa masakin itu?"

"Bisa," ucapku lemas, energiku makin terkuras, tak mau lagi berdebat.

"Oke, kita ke restoran Jepang. Tapi kamu bikinin aku ayam goreng telur asin. Gimana, deal?"

"Restoran Jepang yang ada jual sushinya tapi ya. Sushi Tei boleh, Ichiban Sushi juga boleh."

"Iya..iya.."

"Oke, deal. Aku masakin."

Oh Tuhan, jadi juga makan sushi. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali makan sushi, waktu itu ditraktir Chandra. Itupun setelah kupaksa-paksa. Keluargaku tidak ada yang suka sushi, jadi pada saat makan di luar, menu yang dipesan berkisar ayam - ikan - seafood yang seluruhnya adalah menu khas nusantara. Yah, paling banter ada deh makan steak satu dua kali.

Sejak awal Rama mengajak jalan, aku sudah berniat mengajaknya makan di restoran Jepang. Mau ditraktir ataupun tidak, gak masalah. Pokoknya harus tetap makan di restoran itu. Sebegitu inginnya aku makan sushi, bahkan kalau terpaksa aku bisa makan sendiri.

Tapi memang malang tak dapat ditolak, mujurpun tak dapat diraih. Sudah susah payah berdebat, Rama sudah mengalah dan bersedia makan di sini, di Bento Tei. Sebuah restoran Jepang yang menyajikan berbagai menu sushi dan paket bento dengan harga terjangkau. Harusnya aku senang bukan kepalang mengingat keingananku tersampaikan. Nyatanya tidak demikian.

Sayangnya semua itu berakhir, saat Rama yang duduk di hadapanku menyampaikan informasi yang ditangkap kornea matanya. Tubuhku otomatis berbalik ketika mendengar nama yang diucapkannya, dan entah mengapa tiap nama itu disebut ada gejolak semangat yang berkobar membuat suasana hatiku riang seketika.

Namun, mujur belum sempurna diraih eh malang sudah menyertai. Pak Fadil memasuki restoran yang sama dengan kami, tangannya digelayuti mesra seorang wanita cantik anggun tiada tara. Jarang-jarang aku iri pada wanita, jikapun ada wanita inilah yang berhasil membuatku iri sedemikian rupa. Anggun, menawan, keibuan, silakan sematkan berbagai predikat positif lainnya, dia miliki itu semua. Wanita yang sebenarnya sangat tidak layak dibenci, tapi posisinya sangat mampu membuatku iri. Dia memiliki pria yang jadi pujaan kami. Bukan aku dan Rama, tapi aku dan rekan-rekan mahasiswi Tekimfo tentunya.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang