45 - Without Him

16.2K 2.1K 129
                                    

Jarang bisa update pagi-pagi, jadi enjoy ya...
Please info kalo ada typo.

❤❤❤

*
*
*

Semester VI

Sepi, hening. Persis seperti itulah hari-hari yang kurasakan belakangan ini. Menjalani rutinitas kegiatan harianku tanpa pikir panjang - sudah terprogram otomatis. Kampus - Nuansa Grafika - Rumah. Atau kadang kombinasi dua di antara tiga. Hanya itu. Berulang-ulang setiap hari. Hari liburpun kadang kumanfaatkan untuk mengerjakan tugas atau kewajiban lainnya. Monoton.

Persis robot.

Aku hidup, tapi rasanya hampa. Seperti cangkang kosong yang ditinggalkan. Tidak ada lagi perasaan excited saat ponsel berdering, atau kebahagiaan membuncah kala mengangkat telepon. Tidak ada. Semuanya kembali normal seperti sebelum bertemu dia. Semuanya, kecuali aku.

Tapi ini adalah keputusanku, kehendakku. Rasa kosong yang kualami saat ini hanya masalah waktu. Otak dan hatiku masih mengingatnya, memikirkannya, membayangkan wajah dan suaranya. Senyum dan lesung pipinya selalu muncul saat aku menutup mata. Membayangi, menghantui.

Orang bilang waktu dapat menyembuhkan luka, tapi dengan syarat orang yang terluka memang berniat untuk sembuh. Meski tidak tahu apa dampak perbuatanku untuknya, jelas aku tahu apa dampaknya untuk hidupku. Jadi ... aku akan menyerahkannya pada waktu.

Orang juga bilang, dibalik kesuksesan pria selalu ada wanita hebat. Tapi, aku nggak mau menjadi wanita hebat yang berada di balik pria, aku akan menjadi wanita luar biasa yang berada di sampingnya. Bukan di balik bayang-bayangnya. Bukan wanita yang bergantung pada prianya, tapi menjadi wanita yang mampu mendukungnya, pun sebaliknya. Wanita yang membanggakan. Punya prestasi dan pencapaian.

Bersama dengannya aku khawatir tidak bisa. Berada di sampingnya hanya akan membuat salah satu dari kami terluka, atau malah kami berdua. Takdir kami hanya sampai di sini. Kalaupun Tuhan berkehendak lain, lihat saja nanti.

Aku nggak menangis. Well, sedikit. Waktu aku sadar nggak seharusnya menangisi hal yang benar, air mataku berhenti sendiri. Aku belum bisa melupakannya, jadi aku menghindarinya.

Dalam email aku menuliskan dengan jelas, tidak ingin bertemu lagi. Aku takut goyah setelah susah payah mengumpulkan logika dan segenap rasionalitas demi mengambil keputusan ini. Dan dia seakan mengabulkan keinginanku. Setelah memblokir nomor, kontak dan media sosialnya aku tidak mendengar kabar tentangnya lagi. Dia juga tidak berusaha menemui atau menghubungiku.

Itu yang kubutuhkan, meski aku menginginkan sebaliknya.

Sudah hampir tiga bulan kami nggak ketemu. Tempat-tempat yang kemungkinan ada dia, sengaja aku hindari. Aku berhenti datang ke Prolog, dan tidak lagi mampir ke apartemen Chandra. Karena bisa jadi ada dia di sana.

"Na! Lo udah selesai tugas Kripto?" Pertanyaan Amara yang baru datang membuatku berjengit kaget. Dia setengah melempar ranselnya ke kursi kosong lalu duduk di sampingku.

"Yang mana?" Sebelum menjawab pertanyaanku, Amara malah kembali bangkit menuju penjual siomay dan memesan.

"Loh, kenapa dua porsi?" Mataku membulat saat melihat Amara datang membawa seporsi siomay di masing-masing tangannya.

"Yang satu buat lo, belum makan siang kan?"

Aku menggeleng sebagai jawaban. Meski aku duduk di kantin daritadi, tapi yang kuperhatikan adalah pergerakan candlestick saham incaranku. Saking asyiknya menatap laptop, nggak terasa waktu makan siang rupanya sudah tiba.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang