33 - Algorithm

20.8K 2.8K 75
                                    

Updatenya kemaleman...

Semoga masih ada yang terjaga.

Enjoy.
❤❤❤

***

"Kamu kenapa?" tanya Pak Angga saat melihatku mendadak antusias saat kami memasuki pelataran mall. Setelah mengantarkan Amara kembali ke kampus, Pak Angga mengajakku ke suatu tempat. Ternyata cuma mall.

"Lega, Pak. Saya pikir Bapak bakal ngajak ke puncak gunung atau dasar lautan. Saya udah siapin mental padahal," ucapku sarkas.

"Di dasar lautan nggak ada restoran Jepang yang jual mouse dan keyboard," sindirnya. "Tapi kapan-kapan saya bisa ajak kamu kesana kalau mau," lanjutnya menantang.

Aku menggeleng, "Itu semua keahlian Bapak. Dibanding jelajah alam saya lebih suka jelajah kasur."

"Kalo begitu kita punya kesukaan sama."

"Apa?" hobinya berbeda jauh denganku, mana mungkin ada kesamaan.

"Ahli menjelajah kasur. Nanti kapan-kapan saya tunjukin."

Ba - Bagaimana?

Apa katanya?

Dia waras?

Wajahnya datar seperti saat menjelaskan kecepatan aliran darah penderita jantung koroner di kelasnya tapi aku bisa menangkap nada suara berbeda. Nada suara yang menyimpan maksud tertentu.

Kasur, konotasinya beda saat dia mengucapkannya.

Pikiranku semrawut mendengarnya, apa maksudnya itu? Sebagai impact brain-freeze yang melanda, tubuhku kaku. Langkahku terhenti membuat tangan kami yang tadinya terpaut hampir terlepas kalau saja Pak Angga tidak memegangnya begitu erat.

Sialnya, Pak Angga tertawa melihatku.

"Apa yang kamu pikirkan?" godanya. "Kenapa wajah kamu memerah?"

"Becandanya jangan keterlaluan, Pak."

"Menyangkut kamu saya selalu serius. Tapi untuk yang barusan tentu tidak sekarang." Ucapnya santai tanpa beban.

"Atau ... kamu mau disegerakan?" perkataannya sungguh memprovokasi. Kalau dia Chandra, sudah pasti tanganku telah mencabut akar rambutnya, atau bulu kakinya.

"Jadi istri saya, ya?" bisiknya.

Aku memberengut. Setelah menggodaku sekarang malah menodongku dengan pertanyaan super sulit. Jawabannya mudah, hanya iya atau tidak. Tapi pertimbangan dan proses berpikir menuju dua hasil akhir itu membutuhkan waktu dan pikiran matang.

Daripada salah menjawab, aku melangkah maju meninggalkannya yang terkekeh di belakang. Dengan mantap aku menuju lantai dimana toko komputer terletak, menghiraukan dirinya tertinggal di belakang.

Aku sibuk menyebutkan merk dan jenis keyboard yang kuinginkan pada petugas toko, mencobanya beberapa kali hingga pilihanku jatuh pada sebuah keyboard mekanik berlampu warna warni.

"Kamu gamer?"

"Bukan."

"Keyboard itu bukannya lebih umum dipakai untuk game?"

"Benar. Tapi sensitifitas dan kenyamanannya lebih baik dibandingkan keyboard biasa. Lagipula, saya suka suaranya." Kutekan cepat beberapa tombol asal untuk menciptakan suara tik tik berirama.

"Nggak beli yang wireless?"

"Nggak deh, Pak. Untuk urusan cepat dan akurat, saya lebih milih pakai kabel. Peripheral wireless terlalu lambat untuk saya, bahkan yang frekuensi 2.4 GHz pun kadang masih delay saat coding."

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang