Bab 10
Si kucing yang dari tadi kudekap beringsut manja menempel ke cerukan leher dan mulai mengendus serta menggesekkan hidungnya di tepi rahangku. Seketika rasa geli timbul di sepanjang leherku yang dijilatinya. Lidahnya kasar dan basah membuatku menggeliat kegelian.
"Gue dijilat," kataku sambil terkikik.
"Tandanya dia suka kamu," terang pak Angga.
"Umurnya berapa, Pak?"
"Hampir 4 bulan."
"Namanya siapa?"
"Belum ada. Kamu bisa kasih nama sendiri."
Setelah menimbang sejenak, hanya satu nama yang terlintas di kepalaku,"Dimas." Menurutku nama ini sangat cocok untuk tampangnya yang ganteng sangar tapi kelakuannya unyu.
"Kenapa Dimas, nama mantan lo?" cela Chandra tak setuju.
"Nama mantan tuh dikasih anjing, bukan kucing."
Semakin kuelus, Dimas mendongakkan kepala memintaku membelai lehernya.
"Suka aja, cocok sama muka dan tingkahnya. Sangar tapi gemesiiinn...." Bulunya begitu halus. Meskipun tatapannya jutek tapi tingkahnya manja.
Chandra pernah cerita salah satu temannya pecinta kucing, tapi aku baru tahu yang dimaksud adalah pak Angga. Sekarang malah dapat kucing ganteng gratisan pula.
Kugendong Dimas kesana kemari mengelilingi café, mengenalkannya seluk beluk tempat ini. Mudah-mudahan dia mengerti. Sekalian mau pamer ke dunia, kalau Dimas milikku. Kucing sangar ini punyaku.
Beberapa pengunjung café tertarik melihat Dimas lebih dekat dan ikut membelai. Tubuhnya yang bongsor menjadi daya pikat tamu yang iseng pengin ngelus. Kalau Dimas bersedia, sesekali kubiarkan mereka membelai bulunya.
Tak sadar, jam kerjaku sudah hampir mulai. Kutitipkan kembali Dimas ke mas Aan, lantas membersihkan diri sejenak di toilet khusus karyawan.
Aku mengerjapkan mata yang mendadak terasa aneh, bola mataku rasanya kering. Kuperhatikan pantulannya di cermin, ada garis merah samar mulai mengelilingi iris mataku. Wah, pasti efek pakai softlens.
Mataku tergolong sensitif dan mudah kering kalau memakai lensa. Dalam pemakaian wajar semestinya tiap 3 atau 4 jam harus ditetesi cairan khusus. Dan ini sudah lebih dari 4 jam sejak kupakai belum ditetesi apa-apa.
Kuraih obat tetes mata dari dalam tas dan mencoba meneteskannya sendiri, gagal. Kucoba sekali lagi, meleset. Aku takut membuka mata lebar-lebar dan langsung meneteskan sendiri. Serasa nusuk mata, ngeri. Biasanya di rumah aku minta bantuan mama, kalau di kampus ada Amara.
Karena aku belum juga bisa meneteskannya sendiri tanpa bantuan orang lain membuatku terkadang malas mengenakan softlens. Menyerah, akupun keluar mencari Chandra yang rupanya masih duduk di mejanya semula.
"Mas, tolong tetesin. Mata gue kering," kusodorkan obat tetes mata padanya.
Diraihnya obat itu dari tanganku dan menarik kepalaku mendekat, "Gimana? Gini?"
"Pelan-pelan. Jangan sampe masuk mata gue."
"Ya memang harus masuk kan?"
"Kedeketan, ntar mata gue ketusuk!" ucapku panik saat Chandra mulai mengarahkan ujung botol ke wajahku.
Chandra mengubah posisi kepalaku dan terus mencoba meneteskan obatnya. Tinggi badannya yang jauh melebihiku memudahkan tentu saja, tapi kenapa dari tadi tidak bisa? Aku jadi semakin takut.
"Bisa nggak sih, Chan? Jangan bercanda ah, gue serem sumpahhh," dua jarinya membelalakkan kelopak mataku. Membuatku semakin ngeri menatap ujung botolnya yang kian mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDA SEGMEN
ChickLitStatusnya sebagai mahasiswi jurusan Teknik Informatika, membuat Hana terbiasa berpikir logis dan runut. Bukan sentimen seperti kebanyakan gadis alay. Hana percaya seperti halnya pembuatan program komputer, cinta pun akan ada trial dan errornya. Han...