4 - Dia, dokter Raiz?

29.4K 3.5K 371
                                    

Bab 4

Pagi ini aku sadar bahwa manusia itu paling susah menyalahkan diri sendiri, Chandra yang tadi malam menginap di rumah bangun pagi dengan leher pegal tapi bisa-bisanya nyalahin bantal. Ya siapa suruh dia tidur tengkurap dengan leher menekuk.

Akibatnya sepagian ini dia mengomel nyalahin aku yang gak bangunin dan malah ngebiarin dia tidur di sofa ruang tamu. Padahal jelas-jelas tadi malam dia yang ngotot mau nonton sepak bola sama papa. Kenapa jadi aku yang salah?

Apa jangan-jangan cowok juga punya sindrom semacam PMS, yang bisa merubah mood secara drastis di waktu tertentu? Atau mungkin efek kebelet pengin kawin karena usia makin tua? Hmmm, ingatkan aku untuk googling kapan-kapan.

Pokoknya yang jelas karena diomelin sepagian atas kesalahan yang bahkan tidak kuperbuat, moodku rusak. Mana mama sama sekali nggak belain, papa juga sama aja. Sebenarnya aku ini jabatannya apa sih di rumah?

"Ini minum dulu," tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapanku sambil meletakkan satu gelas boba ukuran sedang. "Jangan gitu mukanya. Kalau selebgram mah tinggal jepret, jadi deh feed aestetik ala-ala model. Kalau kamu...".

"Kalau aku kenapa?"

"Kayak kucing lagi ngambek, minta dielus dan disayang."

Spontan kulayangkan tepukan sekuat tenaga mencoba menyampaikan rasa kesal yang menumpuk sejak pagi ke lengannya dan ups..ternyata kokoh juga.

"Awww!!!" teriaknya sambil meringis.

Ternyata pukulanku lumayan keras. Aku curiga kalau selama ini bisa saja aku adalah keturunan Sakura dari desa Konoha, punya tenaga dalam besar mirip chakra.

"Sorry Ram...nggak sengaja." Bujukku sambil mengelus-elus lengannya.

"Apaan nih elus-elusan pagi-pagi?" Amara sudah berdiri berkacak pinggang di hadapan kami. Ini anak jalannya pake ilmu bayangan apa gimana? Halus banget, tahu-tahu nongol aja.

"Elus-elus modus!" ucapku sambil terkekeh. Rama hanya geleng-geleng kepala menanggapi ucapanku.

"Udah hampir jam 10, masuk kelas yuk. Tahu kan ruangannya dimana?" Rama bangkit kemudian aku pun menyusul.

"Tahu. Tuh lurus ngikutin lorong trus belok kanan," jelas Amara sambil melayang-layangkan tangannya mengarahkan. "Ruang kelas disini gede-gede banget. Menurut gue sih kalau kita menyusup pun nggak bakal ketauan."

Memang benar yang dikatakan Amara, ruang kelas yang kami masuki berukuran 2 kali luas ruangan di kampus kami. Belum lagi bangku kelasnya dibuat berundak-undak sehingga dosen bakal tetap terlihat meski duduk paling belakang. Beda halnya dengan kelas kami, kalau duduk di belakang sudah jelas bakal terhalang kepala orang-orang di depan. Tapi buat yang sedang malas, kursi belakang memang jadi favorit.

Dinding-dindingnya menjulang tinggi, pencahayaannya sempurna dilengkapi pendingin diberbagai sisi. Hampir seperti aula. Kapasitas daya tampung ruangan ini mungkin bisa 150 orang, dengan proyektor telah terpasang permanen di langit-langit ruangan. Kuperhatikan setiap sudut menikmati kemewahan kelas ini, jendelanya yang luas berjejer rapi dengan kaca bening tanpa noda. Memperhatikan ini semua membuatku miris, kapan kelas di Prodiku akan sebagus ini.

Kami bertiga duduk berdampingan di kursi paling belakang agar tidak terlalu mencolok. Bagaimanapun kami bisa dibilang penyusup meski sudah ijin, jadi dari pada ada mahasiswa yang iseng bertanya-tanya mending kami ngacir ke barisan pojokan.

Sebelum kami masuk sudah cukup banyak mahasiswa yang berada di ruangan ini, ruangan dr Wahidin Soedirohusodo namanya. Aku tidak begitu akrab dengan sejarah tapi yang kutahu beliau adalah salah satu dokter yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan republik ini. Begitu pula dengan ruangan lainnya yang tadi kulewati, semuanya dinamai dengan nama-nama dokter yang beberapa diantaranya belum pernah kudengar. Kalau di kampusku, masing-masing ruangan diberi nama bahasa pemrograman seperti ruang C++, ruang Java, ruang Pyhton, ruang Fortran dan sebangsanya.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang