~ Bayang-bayang tidak bisa tersentuh, sama seperti dirimu yang sulit untuk di genggam, padahal dirimu bukan bayang-bayang yang aku harapkan. ~
- Hani Camelia Gomez -
Petir menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Hidupnya yang sekarang berbeda jauh dengan yang dulu. Waktu memang sulit untuk kita kira. Banyak yang kecewa karena waktu yang tidak tepat dengan pikiran kita sendiri. Petir teringat kala ia kecil dulu. Sungguh hidupnya sangat bahagia.
Namun semenjak Papahnya menikah lagi. Semua jadi berubah drastis. Kesunyian, kesepian, kedinginan. Dan rumah pun bagaikan kuburan. Entah sampai kapan penderitaan Petir setiap harinya selalu bertambah. Medina yang melihat kakaknya yang seperti itupun hanya bisa berdo'a agar semuanya kembali seperti dulu.
Medina berjalan ke arah kakaknya. "Kak, jangan ngelamun terus. Kakak kenapa sih?" tanyanya duduk di sebelah Petir.
"Nggak. Kakak lagi mikirin kamu ... ehh iya, kamu udah mau keluar sekolah ya?" Petir mengalihkan pembicaraannya agar Medina tidak tahu apa yang dirasakan Petir sekarang.
Medina mengangguk. "Iya kak. Kakak tau nggak, ulangan aku yang kemaren dapet 80. Dan sekarang 90."
Petir terkekeh kecil. Tangannya kini mengacak rambut Medina yang halus. "Adik kakak kan emang pintar!"
Medina tertawa dan memeluk kakaknya erat. "Andai Papah tahu nilai Nana sekarang. Pasti Papah bakalan bangga banget punya anak kayak Nana."
Deg!
Petir meringis pelan. Apa Medina tengah merindukan Papahnya? Padahal Papahnya tidak menganggapnya sama sekali.
Petir melirik ke arah jam dinding kamarnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul 22:35. "Bobo gih, besok kan sekolah."
Medina mengangguk dan mencium pipi kakaknya. Lalu ia beranjak dari duduknya meninggalkan Petir yang tengah melamun di balkon kamarnya.
Gue benci sama yang namanya Papah.
Tanpa disadari oleh mereka berdua. Ada Talia yang mendengarkannya dari balik tembok. Jujur ia pun sangat sakit melihat kedua anaknya yang merindukan Papahnya. Namun Talia harus bagaimana lagi jika semuanya sudah terlambat?
Ini semua karena Naisa. Kalau saja ia tidak menerima Tora. Mungkin Tora masih bersamaku dan keluarga kecilku!
****
Lebyna memakai kacamatanya seperti biasa. Ia menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Memang sangat berbeda jauh dengan yang asli. Pantas saja Petir tidak mengenalnya sama sekali.
"Kok gue kepikiran cowok nyebelin itu sih, astaga! Jangan sampai gue suka sama tuh orang," gumam Lebyna menepuk-nepuk kepalanya agar tidak memikirkan Petir terus-menerus.
Memang sesudah dihukum di lapangan. Lebyna jadi baper oleh kata-kata manis dari Petir. Namun ia baru sadar kalau Petir bukanlah orang biasa. Dan nyawanya pun akan terancam bila Lebyna terus dekat dengannya. Karena Kevin adalah musuh terbesarnya, tentu.
Lebyna berjalan menuruni tangga. Dan melihat kakaknya yang tengah merapikan dasinya yang tidak rapi. Jika dilihat-lihat Kevin sangatlah jelek dan ketampanannya pun hilang 180° dari yang asli. Lebyna bergidik ngeri, untung mereka menjadi nerd secara terpaksa. Coba kalau selamanya ia menjadi nerd? Bisa tercemar keluarga Gentala karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEROZSCAR [TERBIT]
Teen FictionRangkaian kisah antara Lebyna dan Petir yang dipertemukan dengan berbagai alur tak terduga. Mempunyai kepribadian yang sama persis, namun sudut pandang yang berbeda. Keduanya sama-sama pandai memendam kenyataan dalam suatu dendam. Kematian dua orang...