•Derozscar 23•

20.4K 1.1K 185
                                    

~ Aku memilih jam tangan, agar aku tahu waktu untuk melakukan sesuatu. Namun mencintaimu aku tidak membutuhkan paruh waktu. Karena dirimu tidak ada batasan untukku merindu. ~

- Petir Govanza Faxles -

Lebyna mendesah pelan, tatapan semua murid SMA Gardenia kini tertuju padanya. Ralat, lebih tepatnya fokus kepada Devon yang membukakan pintu mobil untuknya.

Kepalanya terasa berdenyut, nyeri. Hal itu terjadi karena Devon menghentikan mobilnya secara mendadak dengan alasan, ada kucing lewat. What the? Biasakan bilang dulu? Tidak harus langsung tancap rem. Huftt, Lebyna lelah sendiri memikirkan kejadian itu.

Devon mengusap puncak kepala Lebyna, memastikan keningnya tidak benjol. “Kamu tidak kenapa-kenapa 'kan?”

Lebyna menggeleng. “Aku nggak papa, kok. Om, eh—Pak.”

Devon tersenyum tipis. “Syukurlah. Kalau nggak kenapa-kenapa, bilang aja sama, Om. Jangan dipendem.”

Lebyna menganggukkan kepalanya kecil. “Emm, Om. Aku ke kelas duluan, ya.

“Mau saya antar?” tawar Devon hendak mengandeng tangan keponakannya.

Kedua mata Lebyna melotot, ia menggelengkan kepalanya dengan gerakan cepat. “Nggak, Pak, eh maksudnya, Om—.”

Devon tertawa mendengar panggilan Lebyna yang plin-plan dari tadi. Spontan gadis itu memukul bibirnya yang selalu berucap tidak sesuai yang direncanakan.

“Kalau disini panggil, Pak aja. Kalau di rumah baru, Om.”

Lebyna mengangguk, mengiyakan. “Maaf, Om.” cicitnya.

Devon mengangguk, mempersilahkan Lebyna untuk pergi ke kelasnya. Tanpa diketahui olehnya, Salwa dan Hani melongo ditengah lapangan. Banyak pertanyaan yang timbul di kepalanya, hingga saat Lebyna melewati lapangan mereka menghadang gadis itu dengan tangan mereka yang direntangkan, kompak.

“Hayoh loh yang baru aja dianterin ayang, cie ayang.” Goda Salwa menaik turunkan kedua alisnya.

Lebyna memutar bola matanya malas. “Kalian kenapa sih, itu 'kan Om Devon. Udah biasa juga!”

“Biasa apa nih?” Hani menoleh ke arah Lebyna, meminta penjelasan.

“Udah biasa bareng ke sekolah, dari SMP juga gitu 'kan?”

Keduanya cengar-cengir tidak jelas. Ditatapnya Lebyna dari samping, meneliti seragam sekolah Lebyna yang tampak berbeda dari biasanya.

“Tumben pake dasi, biasanya nggak dipake.”

Lebyna menurunkan pandangannya. “Dipaksa, sama Om Devon.”

“Terus, lo nurut?” tanya Hani tidak percaya.

Lebyna mengangguk. “Ya mau gimana lagi. 'kan dia Guru, ya kali gue bantah. Lagian nggak ada salahnya, kok. Gue nyaman-nyaman aja pake dasi.”

Salwa menganggukkan, Alhamdulillah ada perubahan. “Lo udah lama nggak bareng sama Om Devon, sekalinya berangkat bareng, dapet hidayah.”

“Mantap!” seru Hani mengacungkan jempolnya ke atas.

“Eh tapi, kayaknya ada yang beda deh, dari tatapannya Om Devon pas ngelus jidat lo, itu. Kayak dalem ... banget.” Salwa menerawang ke atas, jika ia diposisi Lebyna tadi. Mungkin ia sudah baper lalu salto ditengah lapangan.

Lebyna bergidik ngeri. “Dih apaan sih,  ya kali Om Devon suka sama gue.”

“Ya, mungkin aja sih, 'kan Om Devon belum dapet gandengan. Maksud gue belum nikah, jadi ya sah-sah aja,” ucap Hani yang di angguki oleh Salwa.

Lebyna menggeleng cepat. “Nggak mungkin! Om Devon, Om gue. Nggak sah!”

“Sah-sah aja lah, 'kan Om Devon cuma saudara tiri sama bokap lo,” ujar Salwa membuat Lebyna memicingkan matanya, sinis.

Lebyna menggelengkan kepalanya tegas. Tidak mungkin! Kalau pun mungkin pasti Devon tengah sakit, karena menyukai keponakannya sendiri.

Tanpa disadari oleh ketiga perempuan itu, segerombolan laki-laki mendengarkan setiap obrolan mereka, karena posisinya yang berjalan mengikuti, menuju kelasnya masing-masing.

***

Suasana kantin saat ini tengah ramai akan pengunjung siswa-siswi SMA Gardenia. Padat dan sumpek, mereka berbondong-bondong, membeli jajanan yang mereka sukai.

“Kalian mau pesen apaan?” tawar Aden bersiap mencatat pesanan para teman-temannya.

“Gue bakso.”

Seafood.”

“Nasgor!”

Aden tampak antusias mencatat pesanannya. “Oke, lo, Tir?”

Yang ditanya malah bengong, tidak merespon. Aden berkacak pinggang. “Woi! Bos! Mau apa lo!”

Kurang ajarnya Aden membentak Petir hingga lelaki itu menatapnya tajam. Aden cengar-cengir, menyodorkan catatannya ke arah Petir. “Monggo, di list pesanannya.”

Petir berdehem. “Biasa aja.”

Aden yang paham pun langsung mengangguk. Berjalan meninggalkan meja nomor 17 untuk memesan makanan yang akan mereka santap siang ini.

Rohman menyenggol lengan Petir yang tampak diam saja sedari tadi. “Lo kenapa sih? Gue lihat-lihat dari tadi, bengong aja. Ada masalah?”

Petir menggeleng. “Nggak.”

“Ada yang ngajakin lo perang?” tanya Sopiyan ikut nimbrung.

“Nggak.”

“Uang jajan lo, nggak cukup?”

Peletak!

Sopiyan menjitak mulut Nazar, membuat lelaki itu melotot, tak terima. “Mana ada? Ya kali sultan, nggak cukup uang jajan.”

Nazar memanyunkan bibirnya. “Ya kali aja 'kan?”

Sopiyan menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. “Lagian lo juga, Tir. Kenapa sih? Ngelamun nggak jelas gini? Terus jawabnya nggak-nggak terus. Nggak ada kata lain apa?”

Petir mengedikkan bahunya acuh, menatap seseorang yang tengah fokus memakan makanannya, hingga ia melihat sosok laki-laki berdiri di belakangnya.

Tubuh Petir menegang, tangannya pun ikut mengepal. Bahkan seluruh raganya tiba-tiba terasa panas melihat pemandangan dadakan tersebut.

Penasaran dengan tatapan menusuk dari Petir. Sirclenya pun mengikuti arah pandang Petir, sampai akhirnya tepat di tengah-tengah meja, mereka melotot, bak orang diambang kematian.

Brakh!

Petir mengebrak mejanya lumayan keras, menghasilkan suara nyaring sampai membuat para pengunjung kantin memekik, kaget. Begitupun dengan teman-temannya yang melongo melihat kepergian Petir, tanpa berpamitan sekalipun.

Guys, kayaknya gue tau penyebabnya,” bisik Rohman, namun masih bisa terdengar jelas di indra pendengarannya.

“Tepat sekali. Sekarang gue lihat, ada tatapan api cemburu yang kian membara,” sungut Dodo menatap meja tengah dengan tatapan memicing, memperjelas objek.

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

22 Mei 23.

DEROZSCAR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang