•Derozscar 54•

14.5K 709 302
                                    

~ Bersandar dan menepi, apa yang harus di pertahankan? Jika raga tak bergerak, hati tertutup, bahkan kelopak mata yang sulit terbuka. ~

- Petir Govanza Faxles -

Talia menatap ruang ICU dengan tatapan kosong. Sang Dokter yang merawat Petir selama semalam penuh menundukkan kepalanya, menggeleng putus asa. Keringat dingin bercucuran deras di pelipisnya, Talia menelan ludahnya susah payah belum siap menerima kenyataan yang berujung menyakitkan.

“B-bagaimana keadaan Petir?”

Dokter Nafqi menghela napas panjang. “Detak jantungnya melemah. Tusukan di bagian dadanya sangat dalam hingga mengakibatkan Petir kritis. Tidak ada harapan lagi untuk Petir bertahan hidup—.”

“Apa katamu?! Petir masih bisa di selamatkan! Ini tidak mungkin, anakku kuat!” bentak Talia ingin menerobos memasuki ruangan ICU.

Dokter Nafqi menahan pergerakan Talia. “Jangan dulu masuk. Petir masih kritis, tolong mengertilah. Saya usahakan Petir akan bisa diselamatkan. Tapi saya juga tidak yakin sepenuhnya.”

“Apa yang harus dilakukan supaya cucu saya cepat pulih, Dokter?” tanya Faxles dengan tatapan datar. Namun jauh dalam lubuk hatinya ia merasa tersiksa melihat cucu yang ia dambakan kini terbaring lemas di atas brankar.

“Mengganti jantungnya yang rusak. Namun hal itu tidak mudah untuk kita dapatkan, mengingat pendonor jantung sangat sulit untuk ditemukan. Kecuali ada seseorang yang sukarela mendonorkan jantungnya untuk Petir.”

Ungkapan Dokter Nafqi membuat Talia mematung. Memandangi Petir lewat jendela tembus pandang, meneliti setiap inci alat medis yang melekat di tubuhnya. Begitu menyakitkan dan menyesakkan dada. Talia kehilangan harapannya, ia duduk di kursi panjang rumah sakit dengan tumpahan air mata yang tak kunjung berhenti.

Faxles menepuk-nepuk punggung Talia, mencoba menguatkan menantunya. “Jangan menangis. Petir akan semakin sedih melihat Ibu yang dicintainya terlihat rapuh dan putus asa seperti ini.”

“A-aku tidak punya harapan, Pah ... Petir ...” Talia tidak melanjutkan ucapannya, lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan suara. Ia menangis dalam diam, menikmati degupan jantung yang tersisa nyeri untuk Talia rasakan.

“Mamah!” teriak Medina langsung memeluk tubuh Talia.

“Mamah kenapa nangis, kek?” tanya Medina dengan tatapan polosnya.

Faxles menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Kamu dari mana?”

Medina mengeluarkan beberapa permen dari saku celananya. “Membeli permen di kantin. Mamah sedih terus, jadi Nana beliin yang manis-manis buat Mamah. Siapa tau dengan memakan permen ini, Mamah bisa tersenyum lagi.”

Hati Faxles mencelos terasa pedih dan menyakitkan. “Belikan yang banyak. Ibumu perlu makanan manis untuk menarik senyumannya.”

Medina yang teramat lugu pun menganggukkan kepalanya. Memberikan dua buah permen untuk kakeknya genggam. “Siap, Kek. Nana titip permen ini dulu ya, sebentar!”

Medina segera berlari ke arah kantin untuk membelikan Talia permen yang lebih banyak. Seulas senyuman terbit disudut bibir Faxles. Itulah cara ia untuk menutupi suatu kebenaran yang ada. Faxles takut Medina ikut shock dan sedih mengetahui kakaknya dalam masa kritis.

DEROZSCAR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang