~ Beda orang beda cerita. Beda bahasa, beda suku negara. Jika kita di satukan apakah ada perbedaan? ~
- Sopiyan Charloz Sandina -
Salwa menendang tong sampah yang berada di dekat toilet perempuan, begitupun dengan Hani yang tampak kesal dengan kejadian hari pertamanya sekolah di SMA Gardenia. Tetapi tidak dengan Lebyna yang melipat kedua tangannya di depan dada seraya memainkan wig rambutnya yang sedikit kotor akibat terkena kecap dan saus yang sengaja ia bersihkan di kursi kantin, atas suruhan Salma.
“Sumpah ya tuh orang ngeselin banget, kalau nggak ada konsep nyamar-nyamar gini mah udah gue mutilasi tuh cewek cabe,” gerutu Hani mengerucutkan bibirnya kesal.
“Setuju gue sama jalan pikiran lo, Han. Tau nggak, rasanya gue juga mau nyumpal mulutnya pake saus, terus gue potong-potong tuh tangannya, sampe dia patah tulang!” timpal Salwa teramat kesal dengan Salma yang membulinya beberapa saat yang lalu.
“Udahlah jangan dimasukin ke hati, anggap aja ini ujian pertama yang kalian hadapi, lagian kita disini niatnya buat belajar, bukan buat nyari ribut.” Salwa dan Hani mengerjap-ngerjapkan matanya kaget atas ucapan Lebyna barusan.
“What?! Semudah itu lo ngomong?” sergah Salwa tidak percaya dengan Lebyna yang berniat sekolah hanya untuk belajar, tanpa keributan dari siapapun terutama Salma, yang jelas-jelas sudah menjadi musuh barunya.
Lebyna memutar bola matanya malas. “Terserah kalian mau beranggapan kayak gimana. Saran gue, mending kita diem dan jalanin alurnya. Lama-lama dia akan tau akibatnya.”
Lebyna mengepalkan tangannya, dalam ucapannya barusan, ia memiliki rencana yang amat mendalam. Salwa dan Hani yang tau arti tatapan dan sorot mata Lebyna tiba-tiba terdiam kaku.
Mereka tahu betul cara Lebyna untuk berbalas dendam dengan cara halus, dan itu diisyaratkan dalam tatapannya yang menusuk.
“Gue akan balas perbuatan dia nanti, bukan sekarang. Biarlah kini dia bersenang-senang gembira sebelum ajal menjemputnya tidak kira-kira,” gumam Lebyna nyaris tidak terdengar oleh kedua sahabatnya.
Ketika selesai membersihkan kotoran dari tubuhnya masing-masing. Mereka bertiga kembali ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya, namun ketika berjalan, Lebyna dicegat oleh segerombolan laki-laki yang tidak asing lagi baginya.
“Kalian nggak kenapa-kenapa?” tanya Dodo yang berada di belakang Petir.
Serentak ketiga perempuan itu mendongakkan kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya menandakan mereka baik-baik saja.
Tatapan Petir tertuju kepada suatu objek yang paling mengesankan. Lebyna, ia menatap perempuan itu geram, mungkin ucapannya barusan hanya di anggap angin lewat.
Dengan tekad yang kuat Lebyna berjalan menerobos segerombolan para laki-laki itu, namun belum sempat Lebyna melangkah, tangganya sudah dicekal kuat oleh Petir.
“Gue nggak nyuruh lo pergi.” Petir membisikkan kalimat itu, tepat di ujung telinga kanannya.
Dengan santainya Lebyna menjawab. “Atas dasar apa aku harus mematuhi suruhan kakak? Apa kakak nggak denger bel masuk udah bunyi dari tadi?”
Petir mengepalkan tangannya, sebelumnya Lebyna tidak pernah membalas ucapannya dengan formal dan sedikit menantang. Namun kini, Lebyna membalas ucapannya dengan nada suara yang sedikit meninggi.
“Lo—.”
“Maaf kak, kami tidak ada waktu untuk menuruti perintah kakak, waktu pelajaran sudah hampir habis. Dan aku tidak ingin membolos jam pelajaran, kakak pasti mengerti apa maksud aku barusan, permisi.”
Lebyna menepis tangan Petir secara paksa. Lalu berjalan menerobos teman-temannya yang berada di belakang. Salwa dan Hani hanya bisa menundukkan kepalanya, dan mengikuti langkah kaki Lebyna yang sudah dekat dengan kelasnya.
Petir menatap kepergian Lebyna dengan sorot mata yang memendam amarah. Niatnya ingin bertanya keadaan perempuan itu ia urungkan, tanpa sepatah katapun Petir berjalan ke kelasnya tanpa memperdulikan teman-temannya yang berbisik-bisik tidak tentu arah.
“Kalian nyadar nggak sih, Petir tuh kayak bukan Petir yang gue kenal,” ucap Aden menatap punggung Petir dengan seksama.
“Iya, gue juga ngerasa gitu. Apa mungkin Petir suka sama itu cewek?” Pertanyaan dari Nazar membuat keempat temannya saling pandang.
“Maksud lo, Petir suka sama Lena? Cewek cupu itu?” ucap Dodo yang mendapat anggukan kepala dari ketiga temannya.
“Mungkin,” ucap Rohman singkat.
Mereka menganggukkan kepalanya membenarkan, tetapi tidak dengan Sopian yang menggeleng-gelengkan kepalanya tegas. “Ngaco!”
“Lah, kok ngaco?” tanya Aden terheran atas jawaban dari Sopian barusan.
Entah kenapa Sopian tidak suka jika membicarakan tentang Petir dan adik kelas yang cupu bernama Lena. “Petir nggak mungkin suka sama Lena yang notabenenya cewek udik, dekil, dan nggak punya kemampuan apapun.”
Mereka terdiam merenungkan apa yang Sopian ucapkan barusan, ada benarnya juga atas ucapannya itu. Tetapi semuanya bisa saja pemikiran mereka benar adanya, karena tatapan Petir dan tingkah lakunya yang sedikit berbeda dari sebelumnya.
“Rasanya kita perlu menyelidikinya lebih lanjut, benar ataupun tidak, kita tetep harus dukung apapun keputusannya. Petir temen kita, seharusnya apapun yang dia rasakan kita pun perlu merasakannya,” ujar Dodo tersenyum tipis.
“Dan itulah namanya solidaritas tanpa batas,” timpal Nazar merangkul Aden dan Rohman yang berada di sebelah kanan dan kirinya.
Lalu mereka berjalan menuju kelasnya, tanpa mereka sadari, Sopian menatap kepergian teman-temannya dengan pemikirannya sendiri.
Gue nggak yakin, Petir suka sama Lena. Batinnya berkata demikian, lalu ia mengikuti langkah kaki teman-temannya hingga sampai ke kelasnya.
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
TBC!
KAMU SEDANG MEMBACA
DEROZSCAR [TERBIT]
Teen FictionRangkaian kisah antara Lebyna dan Petir yang dipertemukan dengan berbagai alur tak terduga. Mempunyai kepribadian yang sama persis, namun sudut pandang yang berbeda. Keduanya sama-sama pandai memendam kenyataan dalam suatu dendam. Kematian dua orang...