Catatan : 90% chapter ini berisi narasi, tapi mohon tetap dibaca dan jangan sampai ada yang diskip.
***
Berminggu-minggu sudah berlalu sejak operasi ginjal hari itu. Rasanya, Adit masih tidak menyangka kalau dia akan kembali hidup bebas tanpa khawatir pada hemodialisis lagi. Meski begitu, kesehatannya masih harus dipantau sesering mungkin.
Adit memang sudah tidak tinggal di rumah sakit lagi, tapi beberapa kali harus melakukan kontrol agar tidak terjadi apa yang tidak diinginkan.
Di antara kesenangan yang seharusnya terjadi setelah operasi, kenyataannya justru berbanding terbalik. Dibalik haru bahagia yang seharusnya dilakukan, yang terjadi malah sebaliknya.
Sesuatu yang sejak awal tidak pernah diharapkan siapapun. Termasuk Adit.
Air mata yang ditumpahkan tidak tahu dalam arti apa, kesedihan atau kebahagiaan. Semuanya bercampur jadi satu.
Lalu hari-hari berikutnya menjadi surat bagai rumah tak berpenghuni.
Ah, benar ... mungkin kalimat itu yang cocok untuk menggambarkan suasana saat ini; bagai hati yang tak berpenghuni, suram dan keadaan di dalamnya kacau balau, berdebu, serta berantakan.
Namun agaknya enggan untuk dibereskan kalau bukan oleh orang yang sebelumnya menempati; oleh orang yang membuat keadaan sedemikian kacaunya.
Adit masih dalam maca cuti kuliah, tapi setelah sembuh, dia mendadak jadi orang yang gampang bosan. Astha dan Ibu, serta dokter belum mengizinkan Adit untuk melakukan aktivitas yang berat-berat, setidaknya sampai kondisi Adit dinyatakan stabil sepenuhnya.
Tidak ada alasan untuk Adit membantah, jadi yang bisa lelaki itu lakukan hanya menurut dan kerjaan setiap harinya tidak jauh-jauh dengan kegiatan yang berhubungan dengan seni, atau bermain gitar dengan menyanyikan lagu acak, serta ... tentu saja pacaran sama Cita.
Dalam tujuh hari waktu seminggu, Adit bisa sampai lima hari antar-jemput Cita ke kampus, pokoknya sudah mirip tukang ojek langganan. Bedanya, Cita membayar jasa Adit dengan pelukan dari belakang selama dalam perjalanan di atas motor Adit. Dan kalau Cita sedang berbaik hati ingin memberi tip, tinggal kasih ciuman singkat saja di pipi Adit. Itu sudah cukup.
Sebenarnya, Cita sendiri sudah berkali-kali menolak untuk Adit mengantar-jemputnya seperti itu--ya ..., walaupun dia juga senang karena tidak harus merogoh kocek lebih untuk naik ojek online, tapi kan Cita tahu betul bagaimana keadaan Adit yang masih harus banyak istirahat.
"Begituan doang nggak akan bikin gue capek, Cit. Lagian, jaraknya juga nggak sejauh Jakarta-Selat Sunda. Masih aman." Adit selalu begitu setiap kali Cita mengatakan padanya untuk tidak menjemput atau mengantarnya.
Cita hanya bisa mengembuskan napas. Apalagi kalau Adit juga bulang kalau bukan karena menjemput Cita, dia tidak bisa keluar rumah dengan tenang. Tahu sendiri, sekarang Ibu jadi lebih posesif kalau urusan Adit mau ke mana dan sama siapa.
Heran. Padahal usia Adit udah delapan belas plus. Udah legal juga buat nonton film biru. Hehe.
"Enakan di toko bakery atau kafe?" Cita memperlihatkan dua poster di layar ponselnya pada Adit.
"Bayarannya?"
"Belum tau," jawab Cita. "Tapi dari yang temen gue kasih tau sih, katanya beda tipis. Gedean yang di kafe, tapi udah jelas juga kalau di kafe bakal lebih capek."
Adit meraih ponsel Cita, melihat kembali detail dari kedua poster yang sama-sama sedang membutuhkan karyawan paruh waktu. Yang satu merupakan toko kue yang lumayan besar, yang satu lagi sebuah kafe yang baru berkembang dan sedang ramai akhir-akhir ini karena desain ruangannya yang Instagram-able. Katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...