[10] Objek Tersembunyi dari Sebuah Cerita

823 160 32
                                    

Ternyata benar, serapat-rapatnya menyembunyikan bangkai, akan tercium juga baunya.

•°•°•

“Widihhh ... mau ke mana lo pagi-pagi udah rapi?” tanya Adit dengan hebohnya setelah melihat Astha yang keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Berbeda sekali dengan Adit yang sebenarnya sudah bangun sejak tadi tapi memilih untuk tidak langsung beranjak dari tempat tidurnya, malah main ponsel.

Astha menatap malas Adit yang kebetulan keluar dari kamar dengan waktu yang bersamaan dengannya. “Udah jam sembilan, Aditya. Lo bilang ini pagi?”

Adit mengabaikan begitu saja Astha yang berusaha memperlihatkan jam di pergelangan tangannya pada Adit.

Iya, iya, Adit tahu ini sudah pukul sembilan dan tidak bisa dibilang pagi juga karena matahari sudah lumayan tinggi. Dan sekali lagi, Adit bukan baru bangun tidur. Adit sudah bangun sejak pukul setengah tujuh, tapi ya begitu, enggan untuk beranjak dari kasur apalagi keluar kamar.

Sementara Astha melenggang ke arah pantry untuk menemui Ibu yang sepertinya sedang merapikan isi lemari pendingin, Adit malah duduk santai di ruang tengah, menyalakan televisi sambil memeluk stoples kebanggaannya itu, sudah pasti menghiraukan juga teriakan Astha yang menyuruh Adit mencuci motor dan mobil milik Ibu, atau kalau tidak mau, Adit harus mengeluarkan uangnya untuk membawa dua kendaraan itu ke tempat pencucian.

“Mau ke mana, As?” tanya Ibu yang kini sedang mencuci beberapa buah paprika.

“Tau nih, Mas Astha udah ganteng aja pagi-pagi gini,” sahut Mbak Wati, perempuan yang biasa membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah.

Rumah ini memang hanya dihuni oleh tiga orang; Ibu, Astha, dan Adit saja. Alasan Astha mempekerjakan Mbak Wati—padahal Ibu sudah melarang—karena agar Ibu lebih banyak istirahat di rumah. Ibu ini punya bisnis catering dan rumah makan yang sudah lumayan besar, jadi ketika Ibu pulang dari rumah makan, maka Ibu tidak perlu lelah karena harus mengurusi rumah lagi.

Ya, tahu sendiri kalau-pun ada dua anak laki-laki dewasa di rumah, sama sekali tidak ada gunanya. Buktinya Adit yang baru keluar kamar di jam segini, padahal banyak sekali pekerjaan yang bisa dikerjakannya ketika pagi hari, selain pekerjaan rutinnya mencuci motor.

“Pasti mau pacaran, ‘kan?” sambung Mbak Wati, membuat Astha yang sedang minum air mineral langsung terbatuk-batuk. “Lho, lho, Mas, nggak apa-apa?” Mbak Wati setengah panik melihat Astha sekarang.

Sedangkan Ibu hanya tertawa terbahak sambil menepuk-nepuk tengkuk Astha yang masih terbatuk. “Makanya kalau punya pacar bawa ke rumah, kenalin sama Ibu.”

“Abang, lo punya pacar?!” tanya Adit dengan hebohnya begitu datang menghampiri semuanya. “Siapa? Kak Raya?”

“Oh, jadi namanya Raya.” Ibu masih tersenyum-senyum. “Kapan-kapan ajak ke rumah, ya. Mau Ibu suruh temenin Ibu bikin kue.”

“Emang beneran udah jadian, Bang?” Adit masih penasaran. Tatapannya meneliti raut wajah Astha. Saat ini Adit sudah duduk di atas stole di samping Astha.

Rupanya bukan hanya Adit yang penasaran, Ibu dan Mbak Wati juga seperti itu. mereka bertiga tengah menatap serius ke arah Astha, menunggu laki-laki itu membuka mulut lalu berbicara jawaban yang pasti.

Astha berdeham sejenak, baru ingin menjawab, tapi ponsel di dalam saku celananya lebih dulu bergetar dan itu tidak bisa Astha abaikan begitu saja. Karena ini Raya.

“Tuh, Bu, ceweknya telepon,” ujar Adit saat mengintip sedikit nama siapa yang muncul di layar ponsel Astha. Tidak sopan!

Ibu hanya tersenyum, lalu kembali membantu Mbak Wati untuk mencuci beberapa buah-buahan. Sementara Astha langsung meninggalkan pantry untuk mengangkat telepon tersebut, langkahnya berjalan ke halaman belakang yang kebetulan pintunya sedang dibuka lebar-lebar.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang