[12] Penyesalan Ketika Berusaha Mengabaikan Peringatan

707 162 71
                                    

Tidak ada peringatan yang tidak berguna. Dan kalau saja tidak mengabaikan peringatan itu sejak awal, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

•°•°•

“Ya, nggak takut ketauan?” Astha menatap khawatir.

“Nggak. Udah tenang aja, aku udah ahli.” Raya membenarkan letak jas Astha yang tersampir di lengannya. Hal itu malah jadi kebiasaan bagi keduanya kalau bertemu sepulang kerja, padahal Astha sudah mengatakan kalau bisa membawa jasnya sendiri, atau menaruhnya saja di mobil, tapi Raya menolak dan ingin terus membawanya takut tiba-tiba duduk di suatu tempat jadi jas Astha bisa langsung digunakan untuk menutupi pahanya yang terbuka.

“Udah sering, ya?” bisik Astha lagi.

Raya mengangguk sambil terkekeh.

Begitu keduanya sudah di depan pintu studio untuk memperlihatkan tiket bioskop yang sudah dibelinya pada seorang pegawai, baik Astha atau Raya langsung memasang raut wajah datar, seolah memang sedang tidak ada yang disembunyikannya.

Pegawai tersebut merobek dua tiket tersebut dan memberikan robekannya pada Astha, lalu mereka berdua begitu saja melangkah masuk ke dalam tanpa membuat curiga Si Pegawai. Tidak ada pemeriksaan tas atau barang yang dibawanya, jadi mereka aman.

Astha dan Raya saling lempar pandangan dan menahan kekehannya. Dengan raut tanpa dosanya, mereka mencari nomor kursi sesuai yang tertera di tiket. Sayap kanan atas. Raya ingin di tengah, tapi kursi itu sudah ada yang pesan, kalau mau, agak di depan tapi Raya tidak menyukainya. Jadilah mereka dapat di atas, namun sayap kanan.

Iklan di layar besar masih berlangsung, beberapa pegawai yang menawarkan makanan dan minuman untuk dinikmati selama film berlangsung juga masih berlalu-lalang. Namun Astha dan Raya sudah lebih dulu membeli caramel popcorn dengan ukuran sedang untuk mereka berdua, tanpa membeli minumannya.

Ya, benar. Karena Raya baru saja berhasil menyeludupkan dua cup Chatime berukuran besar ke dalam studio. Ini bukan pertama kalinya Raya berbuat seperti ini, dan tidak pernah ketahuan selama memasang poker face selama pengecekan tiket.

“Pernah bawa apa aja selain Chatime?” tanya Astha begitu keduanya sudah duduk di kursinya masing-masing.

Raya berpikir sejenak. “Banyak,” jawab singkat Raya.

“Pernah bawa nasi kotak juga?”

Pertanyaan Astha seolah menggambarkan kalau dirinya benar-benar penasaran.

Raya memicingkan mata. “Ya, kali. Nggak gitu juga, Tha.”

Astha tertawa. Saat itu juga lampu studio mulai meredup dan iklan-iklan di layar sudah mulai berakhir, menandakan kalau film akan segera di mulai.

Kemudian Astha menukar tas ransel kecil milik Raya yang berisi dua cup Chatime yang sedari tadi sudah berada di atas pangkuan Raya, dengan popcorn yang sedari tadi dipegangnya. Raya tidak protes atau mengeluarkan sepatah katapun saat Astha menaruh tasnya di pangkuan Astha, lalu popcorn di pangkuan Raya.

“Kapan aku bisa minum Chatime-nya?” tanya Astha dengan lebih berbisik. “Aku haus.”

Raya menoleh, lalu melirik ke arah samping kanan dan kirinya yang kebetulan memang tidak terisi penuh. “Bentar. Tunggu filmnya mulai sepuluh atau lima belas menit.”

Astha mengangguk paham. “Ya ...,” panggilnya lagi pada Raya, membuat Raya kembali menoleh.

Kalau Astha terus memanggil seperti ini, mungkin Raya bisa ketinggalan adegan penting di awal film tersebut. Memang, sih, acara menonton film ini juga karena ajakan Raya terhadap Astha saat Raya benar-benar ingin sekali menonton film di bioskop dan sudah mulai bosan menonton serial Netflix di rumah.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang