[40] Semuanya bercampur aduk, menari tak berirama di dalam sana

474 115 30
                                    

Catatan : Meski part ini bikin kalian bingung, tapi tolong dibaca pelan-pelan, ya. Nanti kalau udah tau akar masalahnya, pasti ngerti kok :)

*

"Pelan-pelan, Astha!" gerutu Raya saat Astha dengan tidak sengaja mengusak rambutnya dengan sedikit kencang.

"Lagian kamu ada-ada aja, deh, keramas tapi nggak mandi kayak gini."

"Kepala aku udah gatel banget, tapi masih belum boleh mandi."

Tadi setelah Astha datang menemui Raya dengan segala drama rindu yang agak haru, Raya bertanya pada seorang perawat yang kebetulan datang untuk mengecek suhu tubuh Raya; apakah Raya boleh keramas tidak. Jawabannya, boleh, tapi yang basah hanya bagian kepala saja, jadi Raya masih belum bisa mandi.

Lalu infus Raya dilepas sebentar selama me-keramasi rambutnya, tentu saja dibantu Astha, sedangkan tangannya hanya diam saja. Sesekali mengelap tetesan busah sampo yang mengenai wajahnya.

"Akhirnya aku keramas juga," ujar Raya dengan senangnya begitu dia selesai menggunlung rambutnya menggunakan handuk, lagi-lagi dibantu oleh Astha karena memang laki-laki itu yang menyuruh Raya untuk diam saja dan membiarkan dirinya sendiri yang bergerak mengurus Raya.

"Pantesan tadi pas aku peluk kamu ada rasa bau-bau aneh gitu, ternyata belum mandi dan belum keramas."

Raya mencubit pinggang Astha, membuat Astha terkekeh. "Tapi badan aku tiap pagi dilap pakai handuk basah, ya."

"Masa?"

"Ih, nggak percaya?"

"Iya."

"Bodo, lha."

"Sini aku cium dulu."

Bukan di pipi atau di bibir seperti biasanya, melainkan langsung di leher. Raya jelas terkejut bukan main, dia tersentak sampai memundurkan langkahnya berniat menjauh. Namun Astha juga justru melangkah maju hingga Raya tidak bisa mundur lagi karena punggungnya sudah menyentuh dinding.

Astha belum berhenti. Dia masih terus beraksi di leher Raya dengan sesekali menggerakkan kepalanya, mencari titik lain yang bisa dia sentuh menggunakan bibirnya. Perlakuan itu membuat Raya tanpa sadar melenguh kecil.

Astha terkekeh kecil saat dia bergerak menjauh dan kembali menatap Raya. "Iya, nggak bau. Tadi aku udah cium."

Raya cemberut, tapi dia juga tersenyum.

"Ayo keluar, nanti aku panggilin perawatnya buat pasangin infus kamu lagi." Astha merangkul tubuh Raya untuk keluar dari kamar mandi.

Sampai di ambang pintu, langkah keduanya terhenti ketika melihat sosok Mama yang berdiri tidak jauh dari mereka, tengah menatap Raya dan Astha secara bergantian.

Ada amarah dan juga kesedihan yang Mama rasakan saat ini. Dia ingin menunjukkan itu, tapi urung dan lebih memilih menatap datar keduanya.

"Ma, aku—"

"Kamu nggak kerja, As?" tanya Mama pada Astha dengan memotong ucapan Raya. Suaranya sama sekali tidak menunjukkan kemarahan apapun, atau kesedihan yang mendalam. Dia masih datar, tapi selanjutnya malah tersenyum kecil pada Astha.

"Saya izin sampai jam makan siang, Tante. Nanti balik kantor lagi."

Ini memang betul, Astha tadi sudah bilang pada atasannya untuk izin selama beberapa jam karena ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan, juga meminta maaf dengan sangat karena berlaku tidak sopan telah meninggalkan kantor dengan seenaknya.

Beruntung, alasan Astha bisa dimengerti sebab pekerjaan juga sedang tidak terlalu membludak seperti biasanya, jadi tidak terlalu berpengaruh luar biasa saat Astha meninggalkan kantor. Namun tetap saja, tindakan Astha tidak untuk diulang lain waktu.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang