Seandainya kita nggak bertemu dan terlibat dalam suatu hal, apa takdir akan tetap bercerita sama?
•°•°•
Di ruangan empat kali empat itu, yang cahaya murni mataharinya sangat minim sekali karena satu-satunya jendela selalu dibiarkan tertutup oleh gorden, di mana bau berbagai macam cat bisa terhirup dengan bebas, di mana kanvas dan kuas bisa ditemukan tanpa susah-susah mencari, di situlah Adit sekarang, sedang berbaring di atas sofa yang ukuran lebarnya hanya muat untuk berbaring satu orang dan ukuran panjangnya tidak lebih dari betis Adit.
Kalau sedang di rumah dan kebetulan sedang mencari Adit tapi orangnya tidak ada di kamarnya, maka Adit berarti berada di ruangan itu. Ruangan di lantai dua yang bersebelahan dengan kamarnya, yang punya dua pintu masuk yang berbeda; dari arah luar seperti biasa, berjejer dengan pintu kamar Adit, dan dari arah dalam kamar Adit, sehingga Adit bisa masuk ke ruangan itu tanpa perlu keluar dulu dari kamar.
Lewat bluetooth speaker yang diaktifkan empat puluh menit yang lalu, mengalun lagu milik Fiersa Besari berjudul Garis Terdepan yang sudah diputar sebanyak lebih dari lima kali tanpa henti dengan volume sedang. Sebentar lagi, mungkin Astha yang berada di kamar sebelah akan mendobrak pintu ruangan ini dengan keras karena tidak menurutinya untuk mengganti lagu lain.
“Akulah orang yang selalu ada untukmu, meski hanya sebatas teman.” Adit menyanyikan lagu itu dengan suara sumbangnya.
Adit baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya untuk melukis sesuatu, dan malas untuk melakukan hal lainnya, padahal kegiatan lain seperti menyuci motor di Minggu menjelang siang ini bisa dilakukannya, tapi Adit malas.
Perasaannya tiba-tiba tidak sesegar beberapa jam yang lalu sebelum perempuan bernama Cita itu mengatakan pada Adit kalau dirinya hari ini diajak nonton film bareng sama laki-laki yang sudah disukainya sejak lama.
Jadilah Adit yang sekarang.
“Dit?”
Adit hampir terperanjat karena suara itu, sudah memersiapkan diri untuk dimarahi oleh Astha karena Adit hendak mengambil ponsel untuk mematikan musiknya, tapi Adit lebih heran karena Astha terlihat sangat rapi sekarang.
Astha memang tidak jauh dengan Adit kalau di hari Minggu, kegiatannya hanya itu-itu saja. Tapi baiknya, Astha selalu menyempatkan diri untuk mencuci mobilnya pagi-pagi sekali, tidak seperti Adit yang kadang harus dibentak-bentak dulu oleh Ibu baru mau mencuci motornya atau mobil Ibu yang sering dipakai olehnya.
“Iya, iya gue matiin.” Adit benar-benar mematikan musik dan bluetooth speaker-nya.
“Lensa kamera gue mana?” tanya Astga yang sedikit bingung dengan tingkah Adit, dirinya kan tidak meminta Adit mematikan lagu yang sedang diputar itu. Biarkan saja adiknya itu bergalau-galau ria layaknya remaja baru mengenal cinta.
“Apa?”
“Lensa.”
“Lensa yang mana?” tanya Adit dengan sediti nyolot. Kini Adit sudah dalam posisi duduk dan menatap Astha.
“Yang minggu lalu lo pinjem.” Astha tak kalan untuk meninggikan suaranya.
“Oh, itu.” Adit menghela napas dan berekspresi datar, serta sudah melemahkan lagi suaranya. “Di box motor gue deh kayaknya, kemarin lupa gue ambil,” ujar Adit sambil merebahkan lagi tubuhnya ke sofa dan hendak menghidupkan lagi musik dan bluetooth speaker-nya, tapi tidak jadi.
Astha membelalak. “Adit, lo naro barang berharga gue di box motor gitu aja?!”
Adit berdecak, lalu bangun, menghampiri Astha yang berdiri di ambang pintu. “Bukan gitu aja, Abang. Kan Ada tempatnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...