Untuk saat ini, biarlah malam menjadi saksi bisu atas dua laki-laki yang sedang jatuh cinta.
•°•°•
Ditemani semilir angin yang masuk lewat pintu balkon yang sengaja dibuka agak lebar, Naja menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan ruang obrolan bersama Bia. Perlahan meredup, lalu layarnya mati dan terkunci. Naja tidak berniat untuk menyalakannya lagi dan malah melemparnya asal ke atas kasur. Naja tidak tahu harus membalas seperti apa lagi pesan dari Bia.
Sudah hampir satu bulan kedekatannya berlangsung, tapi Naja tidak merasa kalau ada kedekatan yang mengacu pada kemajuan sebuah hubungan. Naja merasa ini seperti berjalan di tempat, atau memang benar-benar seperti itu keadaannya. Ternyata, Naja tetap laki-laki kaku yang tidak tahu caranya melangkahkan kaki lebih jauh untuk mendekati seorang perempuan.
Satu jam berlalu sejak hujan mereda, tapi dinginnya masih terasa. Jam dinding di kamar Naja menunjukan hampir pukul setengah sebelas malam, dan Naja belum ada tanda-tanda untuk tidur atau sekedar menutup pintu balkon dan beralih menyalakan AC.
Naja menghela napas, bangkit dari tempat duduk untuk keluar dari kamar. Tapi sebelum itu, Naja melangkah untuk menutup pintu balkon lebih rapat lagi. Masih ingat berberapa tahun lalu saat Naja dan Raya rebutan kamar berbalkon ini. Hingga akhirnya Naja yang memenangkan demi privacy seorang perempuan ceroboh seperti Raya yang mungkin akan selalu lupa menutup pintu balkon sampai rapat.
Langkah Naja bukan langsung menuju tangga, tapi ke depan pintu kamar Raya, berdiri sejenak lalu mengetuknya pelan.
"Udah tidur?" tanya Naja.
"Kenapa?" Raya dari dalam balik bertanya. "Masuk aja, belom dikunci kok."
Naja mengikuti perintah. Dengan sedikit hati-hati membuka pintu kamar Raya dan langsung melihat Raya di mejanya sedang berfokus pada sebuah sketchbook dan pensil warna, tengah serius sekali. Posisinya memunggungi pintu kamar, jadi begitu Raya berbalik untuk manatap Naja, hampir saja Naja terjatuh karena terkejut melihat Raya dengan pencahayaan yang minim ini sedang mengenakan sheet mask.
"Ray?!" pekik Naja setelah memejamkan mata kuat-kuat.
Raya tertawa pelan. Tangannya langsung bergerak melepas sheet mask yang sudah dipakainya hampir setengah jam itu, membuangnya ke tempat sampah di samping meja. "Nyalain lampunya," ucap Raya masih dengan kekehannya.
Naja yang sudah sebal hanya bisa pasrah dengan kelakuan Raya yang memang sebenarnya tidak salah juga.
Setelah Naja menyalakan lampu kamar Raya, dan Raya mematikan lampu tidur di atas nakas di samping tempat tidur dan lampu meja di atas meja tempatnya tadi menggambar. Bukan tanpa alasan Raya hanya menggunakan dua penerang redup itu, tapi kalau Raya menyalakan lampu utama, kemungkinan cahayanya akan sedikit terlihat lewat celah dari bawah pintu kamar atau ventilasi udara di atas pintu. Raya takut kalau Papa atau Mama tiba-tiba mengetuk dan Raya tidak sempat membereskan alat gambarnya sebelum keduanya membuka pintu. Ya, walaupun sangat jarang sekali Mama atau Papa menemuinya di waktu semalam ini.
"Ngapain lo? Tumben banget malem-malem gini ke kamar gue?" tanya Raya sambil merapikan semua alat gambarnya dari atas meja.
Naja yang duduk di tepi kasur tiba-tiba membanting tubuhnya ke atas kasur, menatap langit-langit kamar Raya. "Mau ngopi nggak?"
"Lo nyuruh gue bikin? Males."
"Gue bikinin." Naja kembali duduk dan menatap Raya yang kali ini tengah memasukan seluruh alat gambarnya ke sebuah kotak.
Raya menoleh pada Naja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik. Raya yakin, pasti ada niat terselubung dari ajakan Naja barusan. Sangat tidak mungkin seorang Najandra tiba-tiba berbaik hati ingin membuatkan Raya kopi tanpa ada niatan tertentu. Naja ‘kan lebih hobi menyulitkan Raya dibandingkan membuat Raya duduk manis tanpa kerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...