[34] Tidak apa-apa untuk tidak menjadi yang paling kuat

487 111 14
                                    

Di luar, hujan benar-benar turun. Langit seakan tengah ikut bersedih pada apa yang terjadi di dalam rumah sakit.

Hampir tiga jam berlalu dan ini sudah berganti hari, namun Raya masih duduk di sana. Jas Astha yang ia tolak untuk pakai dan berencana dibuka ketika berada di mobil, masih Raya kenakan sampai sekarang. Bahkan jas itu tidak bisa menenangkan Raya saat tubuhnya menggigil karena ketakutan.

Tidak apa-apa, begitu kata dokter yang menangani Adit, seolah dengan jawaban bercanda dokter itu menyebutkan kalau Adit hanya berpura-pura pingsan karena tadi kepergok berciuman oleh Astha dan Raya.

Tapi ucapan selanjutnya seketika membuat lutut mereka yang mendengarnya melemas, bahkan Ibu hampir saja ambruk.

Adit harus tetap berada di rumah sakit karena dialisis yang dijalaninya saat ini berubah jadwal menjadi setiap hari. Dengan kata lain, Adit harus menjadikan rumah sakit sebagai rumah utamanya saat ini.

Dokter memberi keringanan pada Adit untuk minggu depan, karena Adit harus melaksanakan UAS di kampusnya. Tapi tetap saja, belajar, makan, tidur, mandi, semuanya dilakukan di rumah sakit.

Adit memang hanya orang asing yang hampir sepuluh bulan terakhir tiba-tiba menjadi akrab dengan Raya. Namun, waktu sepuluh bulan itu ternyata sudah mampu membuat ikatan yang keduanya miliki begitu kuat hingga Raya dapat merasakan kesedihan yang luar biasa saat ini.

"Ya ...." Astha baru keluar dari ruangan langsung menghampiri Raya dan duduk di sampingnya. "Aku anter kamu pulang, ya."

Raya mendongak, menatap Astha, dan bukannya bergerak untuk bangkit, Raya malah merapatkan tubuhnya pada tubuh Astha, menenggelamkan wajahnya di dada Sang kekasih, menahan luapan air mata agar tidak kembali tumpah.

"Jangan nangis, Adit nggak apa-apa, kok." Astha menepuk-nepuk punggung Raya.

Tidak. Raya tidak menangis, ia hanya ... butuh sebuah ketenangan.

Cita sudah pulang beberapa saat yang lalu dengan naik taksi online, menolak diantarkan oleh Astha karena katanya, Astha harus menjaga Adit dan juga sedang ada Raya di sini.

Menjadi Raya saja sudah sebegitu hancur, apalagi menjadi Cita yang bahkan ia dan Adit baru meresmikan hubungannya hari ini setelah sekian lama.

"Tha ...," lirih Raya. Ia masih belum mau Astha berhenti memeluknya, Raya masih ingin berusaha menjadi lebih kuat. "Aku laper," ucapnya pelan.

Astha terkekeh. "Mau cari makan?"

Barulah Raya menjauhkan tubuhnya, kembali menatap Astha yang wajahnya terlihat begitu lelah. Sepulang dari kantor tadi, Astha langsung menjemput Raya di rumah, lalu ke kafe untuk melihat Adit, dan berakhir di rumah sakit yang bahkan tadi ia sempat menjemput Ibu di rumah dan hanya sempat mengganti kemejanya dengan sebuah kaos lengan panjang.

Raya menyentuh wajah Astha dengan tangannya, mengusap lembut bagian pipi dan kantung mata itu.

Astha terpejam, ia benar-benar menikmati sentuhan yang terasa begitu membuatnya nyaman sekali.

"Tapi cari makan di mana?" tanya Raya, dan membuat Astha membuka matanya.

"Ya ... paling fast food. KFC? McD?"

Raya tersenyum. "Tha ...," panggil Raya. "Nggak apa-apa untuk nggak jadi yang paling kuat, semua orang boleh terlihat lemah, menyedihkan, atau yang lainnya. Kamu boleh banget nangis, nggak ada yang ngelarang dan nggak akan membuat kamu seketika jadi orang aneh karena cowok nangis."

Astha diam sejenak, menatap Raya dengan tatapan sendu sebelum akhirnya menjatuhkan kepalanya di pundak Raya. Dan tak lama, bahunya bergetar pelan. Walau tak terdengar isakan, Raya tahu kalau Astha sedang menangis.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang