[37] Semuanya tidak ada yang abadi, pasti akan kembali ke tempat masing-masing

493 121 41
                                    

Mama sudah pulang duluan, membawa serta mobil Raya dan meninggalkan Raya di rumah sakit karena ia sedang sibuk dilukis oleh Adit. Sempat ada kebingungan yang Raya rasakan saat melihat wajah Mama sedikit sembab dan juga seperti orang linglung.

Raya ingin ikut pulang juga, tapi Mama menolak, dan membiarkan Raya tetap tinggal di rumah sakit sampai urusannya selesai. Meski begitu, Raya ingin sekali segera bertanya apa yang sekiranya Mama dan Ibu bicarakan sampai Mama bisa terlihat sebegitu setelahnya.

"Kira-kira, Mama kenapa, ya?" tanya Raya pada Astha, tak henti-hentinya memikirkan hal itu.

Astha ingin menoleh, tapi tidak bisa. Kalau ia memaksa, maka Adit akan mengamuk. "Udah, nggak usah dipikirin. Mama kamu baik-baik aja kok."

Sekarang, Raya dan Astha sedang duduk bersebelahan di sebuah kursi lipat tak terpakai yang ada di atas rooftop. Tadi sedikit berdebu, beruntung Raya membawa serta tisu basah di dalam tasnya.

Sementara di hadapan keduanya, ada Adit yang tengah serius sekali berhadapan dengan kanvas. Dan tentu saja, ada Cita di sampingnya, yang sedari tadi senantiasa mengajak Adit berbincang dan sesekali menanyakan keadaan Adit, takut-takut Adit merasa pusing atau hal lainnya.

Tidak akan diselesaikan hari ini juga. Adit hanya akan menggambarnya tipis, setelahnya akan ia lanjutkan pewarnaan di kamar inapnya. Karena mau bagaimanapun, Adit tetap tidak boleh kelelahan.

"Masih lama, nggak?" teriak Astha.

"Bentar lagi," balas Adit tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari kanvas.

Sebenarnya metode seperti ini tidak begitu efektif, karena tidak bisa melakukan pewarnaan bayangan dengan sempurna. Tapi sekali lagi, kondisi Adit juga tidak memungkinkan untuk laki-laki itu duduk terlalu lama. Ini saja, Astha khawatir kalau Adit akan dimarahi dokternya karena keluar kamar terlalu lama.

"Habis ini, mau ke mana?" tanya Raya. "Tadinya kamu mau ngajakin ke mana kalau aku sama Mama nggak ke sini?"

"Tolong diem, jangan bergerak terlalu banyak." Adit kembali memperingati saat Astha dan Raya mulai berbicara satu sama lain.

Astha melotot pada Adit. Sepertinya bukan karena takut lukisannya tidak sempurna, tapi karena Adit tidak suka dengan Astha dan Raya saling mengobrol. Mungkin. Lama-lama, Astha jadi curiga kalau Adit ini sebenarnya suka dengan Raya, dan menjadikan Cita pelampiasan. Seperti yang dilakukan Naja terhadap Bia.

Ya, walaupun Raya cerita pada Astha, kalau hubungan Naja dan Bia yang dilandasi untuk menghilangkan perasaan Naja terhadap Raya bisa dikatakan berhasil dengan akhir Naja yang balik menyukai Bia. Tapi tetap saja, Naja yakin, di awal hubungan keduanya, Bia lebih sering tersakiti. Dan sekarang akan terus merasa was-was kalau Naja dekat dengan Raya. Seolah, Raya ini perempuan lain, bukan saudara Naja.

Sama seperti yang Astha rasakan kalau Raya dekat dengan Naja. Astha juga merasa sedikit cemburu walau tahu kalau mereka adalah saudara kembar yang sepantasnya tidak untuk dijadikan bahan cemburuan.

Dan sekarang apa? Adit suka sama Raya? Awas saja kalau itu beneran terjadi.

"Aku cuma pengin ngajak kamu jalan-jalan aja, sih. Kulineran gitu."

Raya segera menoleh, dan langsung dihadiahi decakan keras dan geraman kekesalan dari Adit.

"Sorry, sorry." Raya menyengir. "Kamu mau bikin aku gendut, ya? Di rumah aja tuh bikin aku laper terus, eh sekarang malah kamu ngajakin aku kulineran," ujarnya pada Astha, tidak menoleh dan menatap lawan bicara.

Astha terkekeh kecil. "Aku bakal tetep suka walaupun berat badan kamu bertambah."

"Bulshit! Kalau ngeliat cewek cantik dan seksi yang badannya melehoy indehoy juga kamu pasti melotot."

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang