"Habis ini, gue traktir makan," tanpa menoleh, Cita berujar sambil berusaha mengambil sebuah buku di rak atas. "Tolong ambilin yang itu, Dit." Cita menunjuk sebuah buku yang tidak bisa digapainya karena letaknya terlalu tinggi.
"Yang ini?" tanya Adit pada sebuah buku bersampul biru muda.
"Sebelahnya, yang putih."
Adit lalu mengambilkan buku tersebut dan memberikannya pada Cita. "Lo abis gajian, ya, makanya traktir gue?"
Cita mengangguk dengan senyum megah di bibirnya.
Cita memang berniat menghabiskan waktu liburnya untuk bermain bersama Adit. Eum ... lebih tepatnya meminta Adit untuk menemaninya, sih. Menemani Cita menonton bioskop walau Adit sempat menolak, menemani Cita ke toko buku untuk membeli buku keperluan kuliah dan juga beberapa novel, menemani Cita makan siang, dan intinya menemani Cita menikmati hari libur sekaligus menikmati upah kerjanya.
Selama ini, Cita yang selalu ditraktir oleh Adit. Tapi kali ini Cita ingin melakukannya untuk Adit, karena Cita tahu kalau Adit sedang banyak mengeluarkan uang untuk keperluannya.
"Atau lo ada maksud lain sama gue?" selidik Adit. Karena memang tidak biasanya Cita seperti ini. Apalagi berniat menghabiskan waktu seharian bersama Adit. Sangat jarang terjadi sekali.
Cita berdecak, ia menatap Adit lekat-lekat, langkahnya sengaja terhenti untuk memberi tatapan itu pada Adit. "Gue 'kan mau jadi orang baik juga, Dit."
Adit lalu tertawa. "Iya, iya. Tapi lo tau kalau makan gue itu banyak, 'kan?"
"Gue malah seneng kalau lo makan banyak." Cita melanjutkan langkahnya, menyusuri rak-rak berbagai macam novel. Mengambil satu per satu untuk dibaca bagian blurb di sampul belakang buku tersebut, kalau menarik akan Cita beli, kalau tidak akan Cita kembalikan ke tempatnya.
"Gue selalu makan banyak kok, Cit," aku Adit. "Empat sehat, lima sempurna, enam Adit ganteng."
"Tujuh Adit kebanyakan halu," lanjut Cita menanggapi candaan Adit yang tiada habisnya.
Adit kembali tertawa kecil. Di tangannya terdapat beberapa buku yang akan Cita beli. Ia dengan senang hati menawarkan bantuan pada Cita untuk membawa buku-buku itu.
Cita tiba-tiba berbalik, menatap Adit lekat namun perlahan berubah sendu, lalu lontaran sebuah pertanyaan membuat Adit membeku sesaat. "Kapan jadwal cuci darah lagi?"
Adit geming. Tubuhnya mendadak lemas, seakan Cita mengingatkan pada sesuatu yang ingin sekali Adit hilangkan sejauh-jauhnya; sebuah fakta tentang ginjalnya yang tidak bisa lagi bekerja sebagai mana mestinya hingga Adit harus menjalani hemodialisis secara rutin.
Karena itu Adit bekerja paruh waktu sebagai penyanyi di kafe, juga rutin melukis untuk dijual kembali, dan sekarang Adit juga membuka jasa pembuatan digital art secara online. Adit butuh biaya yang lumayan banyak untuk menjalani hemodialisis.
"Lusa," jawab Adit pelan dan singkat.
"Ibu sama Bang Astha belum tau, 'kan?"
Adit menggeleng. Ia terlalu takut membuat kedua orang yang paling disayangnya khawatir, walau keadaan Adit juga mengkhawatirkan. Adit memang tidak berniat menyembunyikan ini semua selamanya, tapi nanti. Nanti Adit akan bercerita di waktu yang tepat, walau Adit sendiri tidak tahu kapan.
Adit juga baru mengetahui ini beberapa bulan yang lalu dengan kondisi yang sudah bisa dikatakan buruk. Dan dokter yang merawat Adit memberitahu kalau kondisi Adit bisa lebih parah dan hemodialisis bukan lagi jalan yang harus Adit tempuh, melainkan Adit harus segera mendapatkan ginjal baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...