[15] Lantas, Mengapa Kita Harus Satu Atap?

840 161 107
                                    

Kalau saja, sejak dulu semesta tidak jahat, mungkin saat ini labirin yang mereka lalui tidak serumit ini. Lagi-lagi, bolehkah mereka menyalah semesta akan sebuah takdir?

•°•°•

"Nggak dapet komentar jelek lagi?" Yovan menggeser sedikit kursinya ke kubikel Raya, memperhatikan Raya yang sedang membalas sebuah surel dengan sangat panjang. "Gila! Kecepatan mengetik lo boleh juga." Ia bertepuk tangan pelan.

Raya mendengus, sedikit menghiraukan ocehan Yovan yang sepertinya terlihat sedang bersantai, padahal Raya sendiri sudah mati-matian menahan emosi dari sebuah pertanyaan yang baru saja didapatnya dari surel perusahaan.

"Gue traktir Chatime habis ini," ucap Yovan secara tiba-tiba, membuat Raya yang baru saja mengeklik tanda kirim pada surel itu menoleh dengan mata yang sedikit berbinar. Sedikit.

"Gue?" Sita yang berada di depan kubikel Yovan menjenjangkan lehernya untuk melihat kedua temannya yang sedang berbincang kecil.

Kalau soal makanan dan minuman kesensitifan telinga Sita memang langsung bertambah.

Yovan menghela napas. "Iya, lo juga," balasnya pasrah.

"Asik!" seru Sita sesaat sebelum kembali menatap layar monitornya.

Raya tertawa kecil. "Maaf, ya, kayaknya lagi nggak ada promo, deh. Jadi kalau nggak mau nambah ongkir, pulang ini langsung ke mall aja, ya. Sekalian nonton film aja, gimana?" Ya, seketika saja mood Raya langsung membaik.

"Setuju!" seru Sita lagi. Kali ini ia tidak sedang mejenjangkan lehernya untuk melihat Yovan dan Raya, hanya perlu mendengar saja dan menyahuti keduanya. "Gue sekalian mau beli sheet mask," ujarnya lagi.

"Tapi hanya Chatime, tiket nontonnya bayar masing-masing." Yovan sudah setengah takut kalau ia harus kembali merogoh kantungnya lebih dalam untuk membayari tiket bioskop keduanya juga.

Raya tertawa lagi. Ia sudah siap dengan ponselnya, membuka aplikasi pemesanan tiket bioskop secara online. Dan ketika sedang memilih kursi yang strategis untuk ketiga, suara decitan halus pintu ruangan Irga, membuat Raya langsung menaruh ponselnya kembali ke atas meja.

"Ada yang senggang nggak?" tanya Irga dengan agak keras, kepalanya mengidar ke seluruh ruangan, melihat pegawainya yang sedang menatap ke layar monitor semua.

"Raya, Pak."

Seruan dari Yovan membuat Raya membelalak tidak terima ke arahnya. Raya sudah tahu apa yang akan Irga lakukan padanya, sehingga sebisa mungkin menghindar. Biasanya, Irga akan menyuruh pegawainya mengantarkan berkas ke divisi lain, atau kalau jam kerja belum mulai, ia akan meminta dibelikan kopi ke kedai kopi samping gedung kantor.

Hari ini Raya sedang tidak ingin ke mana-mana. Pun hanya sekedar melangkahkan kakinya ke ruangan sebelah.

"Oh, kalau gitu tolong antarkan berkas ini ke ruangannya Pak Astha, ya," ujar Irga seraya melangkah menghampiri Raya. "Manager call center yang baru, kamu tau, 'kan?" Irga memberikan berkas itu pada Raya.

Apa katanya? Astha? Raya sangat tahu. Bahkan beberapa hari yang lalu mereka baru saja meresmikan hubungan mereka ke yang lebih jelas statusnya.

"Hah?" Raya merespon bingung.

"Suruh ngaterin berkas ke call center, Ray." Yovan mengulangi perintah Irga.

Raya tersenyum pahit.

"Terus nanti pinta berkas lainnya. Ngomong aja berkas yang dipinta saya, nanti dia paham. Kalau belum selesai, tungguin sebentar."

Tanpa Raya menyetujui perintah itu, Irga pergi begitu saja meninggalkan Raya yang masih agak bingung di tempat, kakinya seolah mengambang tak jelas.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang