[36] Perlahan, jalan bercabang itu mulai menemukan titik akhir

480 108 28
                                    

Hubungan Raya dan Papa tidak bisa dibilang baik juga, begitupun hubungannya dengan Naja, masih ada jarak yang dibentangkan oleh keduanya, seakan takut kalau sama-sama salah melangkah lagi jika mencoba mengikis jarak.

Papa berkali-kali mencoba mendekati Raya dengan ikut bergabung menonton televisi di ruang tengah, ikut duduk sembari menikmati kopi atau teh di halaman belakang, atau menemani di pantry saat Raya mengupas buah atau menyiapkan sereal untuk sarapan pada waktu yang telat itu.

Sebanyak itu Papa mencoba, sebanyak itu juga Raya berusaha menjauh. Raya tidak marah, hanya sedikit kesal pada kejadian malam itu. Di sini Raya memang salah karena telah membantah perintah Papa, di sisi lain, Raya juga masih tidak mengerti kenapa Papa sampai segitunya terhadap Raya kalau sudah menyangkut seni.

Malam ini ada yang berbeda dari Raya; ia sedang mencoba mendekati Papa dengan ikut duduk di ruang tengah.

Agar tidak terlalu kentara kalau Raya melakukan hal yang tidak biasanya, Raya membawa sebungkus keripik singkong yang baru dibukanya tanpa menawari Papa.

Papa sempat melirik ke arah Raya sedikit, sedangkan perempuan itu masih sibuk main ponsel sembari makan keripiknya.

"Ray?" Papa bersuara, membuat Raya menoleh kemudian. "Ada yang diomongin sama Papa?" Papa terlalu peka, Raya tidak suka.

Berhari-hari Raya menyusun kata untuk membicarakan hal ini pada Papa atau Mama, tapi tidak menemukan kalimat yang cocok. Seperti kata Astha hari itu, ini bukan masalah sepele yang dengan mudahnya dibicarakan selayaknya mengikat rambut ke belakang. Lebih dari itu.

Ini tentang bagaimana Papa akan dengan mudah mengizinkan Raya mendonorkan salah satu ginjalnya pada orang lain. Orang lain yang dimaksud adalah Adit, dan Adit bukan termasuk orang lain bagi Raya.

Raya menoleh, menatap Papa dengan sebuah harapan besar di pundaknya. Ia menaruh keripik singkongnya yang belum habis dan juga ponselnya ke atas meja, menandakan kalau tidak ingin ada yang mengganggu pembicaraannya kali ini.

"Kalau Raya mau berbuat baik sama orang, apa Papa bakal seneng?"

Papa bingung, terdengar sederhana, tapi kenapa harus seserius ini. "Tentu, dong!" seru Papa. "Emangnya kamu mau berbuat baik apa?"

Nah, ini yang jadi tantangan untuk Raya. 

Raya menghela napas kecil, menunduk, tidak ingin segera tahu bagaimana reaksi Papa saat Raya mengatakan hal ini. "Raya mau mendonorkan sesuatu buat orang lain," tutur Raya pelan.

"Darah? Bukannya waktu kuliah juga kamu sering? Kenapa sekarang minta izin sama Papa?" Papa benar-benar bingung.

"Bukan," jawab Raya, masih pelan.

Oke, untuk beberapa saat Papa terkejut dengan jawaban Raya yang singkat, kepalanya mulai menebak-nebak apa yang kiranya akan Raya donorkan

"Raya mau donorin ginjal Raya buat orang lain." Raya memejamkan mata, susah payah Raya mengatakan hal itu pada Papa.

Kali ini bukan sekedar keterkejutan singkat yang sebelumnya Papa rasakan, tapi lebih dari itu. Papa benar-benar sampai menahan napasnya kala Raya berhasil meloloskan apa yang sudah dirangkainya sejak beberapa hari lalu.

"Siapa?" tanya Papa berusaha tenang.

Belum sempat Raya menjawab pertanyaan Papa, Mama dari arah lantai dua menghampiri mereka. Suasana serius dan sedikit mencengkam begitu terasa oleh Mama, ia bahkan sampai melihat Raya dan Papa secara bergantian dengan tatapan bingung.

"Ada apa, Pa?" tanya Mama pada Papa.

Papa menghela napas. "Siapa, Ray?" Papa kembali bertanya pada Raya, mengabaikan pertanyaan Mama.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang