[4] Yang tidak Diinginkan, tapi sudah Seharusnya seperti Itu

1K 207 26
                                    

Tolong beritahu, harus senang atau sedih karena menerima takdir seperti ini? Kenapa juga diantara sekian banyak, harus kamu?

•°•°•

"Mau bareng saya?"

Raya menoleh ke sumber suara. Tangannya yang sedang memegang ponsel dan hendak memesan taksi online langsung berhenti bergerak.

Ini hanya sekedar basa-basi kan? Astha tidak mungkin menawarinya tumpangan kan?

Sejak pemotreran selesai, Hara sudah langsung melipir untuk pulang. Keponakannya yang baru berusia empat tahun sedang ada di rumah, jadi Hara ingin segera sampai rumah. Bahkan Hara tidak menunggu Raya selesai berganti pakaian dan menghapus make up tebalnya. Padahal tadinya, mereka berdua berniat untuk menonton film dulu ke bioskop.

Raya juga sudah menanyakan pada Naja, apa laki-laki itu sibuk atau tidak. Ternyata sama saja, Naja tidak bisa juga menjemput Raya karena Health Six baru saja kedatangan alat olah raga baru dan Bayu sedang tidak datang Minggu ini, jadi hanya ada Naja dan Saka. Dan kalau Naja tinggalkan untuk menjemput Raya, kasihan Saka sendirian di sana.

Baru Raya hendak menolak ajakan Astha tadi, muncul Adit yang berdiri di samping Astha dan menoleh pada Raya.

"Ikut aja. Abang saya bakal anterin sampe rumah dengan selamat kok," ucap Adit.

Raya tersenyum canggung. "Nggak usah, rumah saya lumayan jauh dari sini."

"Pekerjaan kamu ini nggak jadi rahasia yang harus bikin saya pura-pura nggak tau kan?"

Raya tidak terima dengan pertanyaan Astha barusan. Masalahnya, pertanyaan itu terdengar ambigu yang malah membuat orang berprasangka kalau pekerjaan Raya barusan adalah pekerjaan buruk yang tidak-tidak. Sepertinya Astha memang harus belajar diksi lagi agar penggunaan kalimat yang digunakannya tepat dan tidak membuat orang lain salah sangka. Beruntung, di sini bukan kantor keduanya.

"Kamu pikir, saya pekerja malam?" Raya berdecak sebal.

Omong-omong, tadi Astha meminta Raya agar tidak memanggilnya dengan sebutan 'Pak' selama di sini. Karena kata Astha, ini bukan kantor, jadi Raya juga bukan bawahan Astha. Tidak apa-apa Raya memanggilnya 'Astha' atau menggunakan sapaan 'saya-kamu' asal masih terdengar sopan. Lagipula, Raya masih tahu batasan.

Kemudian terdengar tawa ringan dari Adit. Raya baru tahu kalau Adit ini ternyata orangnya asik dan rame. Tadi saja saat pemotretan, semuanya tidak semenegangkan atau seserius biasanya. Adit selalu bisa mencairkan suasana, apalagi kalau Raya sudah membicarakan soal lukisan bersama Adit, mungkin Raya akan lupa kalau tadi dia harus melakukan pemotretan dan Adit lupa kalau sedang menjadi asisten seharinya Astha.

Sangat berbeda sekali dengan Adit yang beberapa tempo hari terlihat gugup dan panik karena berhasil meretakan layar ponsel Raya secara tidak sengaja.

"Maafin abang saya, ya, Kak," ucap Adit pada Raya. "Dia emang begitu orangnya."

Hampir saja Astha ingin memukul kepala Adit saat itu juga, kalau tidak mengingat ada Raya yang bekerja satu kantor dengannya. Astha jadi harus menjaga wibawa dengan hanya tersenyum pada keduanya. Nanti saja kalau sudah di rumah, baru Astha akan memberi pelajaran lebih pada Adit.

"Saya naik go-car aja, nggak apa-apa."

"Lho, pacarnya yang waktu itu nggak jemput?" Adit bersuara lagi.

Siapa maksudnya? Naja?

Raya hampir menyemburkan tawa membayangkan hal itu. Bagaimana mungkin Adit bisa mengira kalau saudara kembarnya itu adalah kekasihnya? Iya sih, mereka memang tidak identik. Banyak juga yang terkejut mengetahui kalau Raya dan Naja adalah saudara kembar, apalagi nama panggilan mereka sangatlah berbeda, tidak seperti saudara kembar seperti biasanya.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang