[21] Semuanya tidak Terjadi Begitu Saja, Pasti Selalu Ada Petunjuk sebelumnya

625 133 10
                                    

Hari ini pagi-pagi sekali Mama dan Papa pergi ke luar kota. Raya tidak tahu dalam rangka apa, yang jelas itu pasti urusan perusahaan yang kalau Papa dan Mama sudah mulai menjelaskan akan membuat kepala Raya berdenyut karena tidak mengerti. Raya memang payah, padahal kata mereka, perusahaan itu akan diturunkan pada Naja dan Raya.

Namun sekarang bukan itu yang hendak Raya soraki dengan riang. Perginya Papa dan Mama itu akan membuat Raya bisa mengeluarkan sketchbook dan pensil warnanya di mana saja tanpa rasa takut sedikitpun.

Bisa ditebak, betapa bahagianya Raya kalau mengingat hal itu.

Bukan berarti Raya selalu menginginkan kedua orang tuanya pergi dari rumah, Raya tidak sejahat itu. Namun memang kalau sudah membicarakan kebebasan menggambar dan melukis, Raya pasti tidak akan lelah mengumbar senyum yang sangat lebar. Kadang, Raya sendiri iri pada Adit yang diberi kebebasan untuk berekspresi dan seni.

"Mbak Raya mau ke mana?" tanya Bude Farah yang sedang memasak.

Raya tersenyum. "Mau nge-gym. Udah lama banget aku nggak ke Health Six."

"Sama Mas Naja?"

Raya mengangguk. Diteguknya susu yang baru saja Bude Farah sodorkan pada Raya. "Tapi Naja hanya nganter doang, sih. Katanya, dia ada janji sama temen kantornya."

Bude Farah hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Lumayan, Bude. Gratis. Kapan lagi aku bisa jadi anggota tetap tapi gratis selain di Health Six," ujar Raya seraya melirik ke arah Naja yang baru saja datang ke arah pantry dan duduk di stole bar di samping Raya.

"Udah? Ayo berangkat." Naja turun dari stole ketika sudah menandaskan kopi hitam di atas meja bar yang memang sudah kehilangan suhu panasnya karena Naja terlalu lama di dalam kamar tadi.

Raya berpamitan pada Bude Farah, dan langsung menyusul langkah Naja yang sudah lebih dulu melangkah keluar rumah.

"Nanti lo nggak usah jemput gue," ucap Raya setelah menaruh sebuah tas berisi pakaian gantinya. Karena saat ini Raya langsung mengenakan legging dan sport bra yang dilapisi lagi oleh jaket. "Gue mau ketemuan sama Hara habis dari Health Six," sambungnya. "Lo tau Hara, 'kan? Yang waktu itu pernah naksir lo." Raya tertawa.

Naja mendelik jengah. Walau sudah tidak pernah bertemu lagi, Naja jelas tidak lupa pada Hara. Karena sejak dulu hanya Hara yang menjadi teman terdekat Raya.

Iya, Naja ingat bukan karena Hara pernah naksir dirinya, tapi sebagai seseorang yang dekat dengan Raya.

Sepertinya Naja memang sudah setidak tahu diri itu pada saudara kembarnya sendiri. Karena Naja sendiri menyadari, semakin ia berusaha untuk melupakan rasa itu, semakin kuat juga ia rasakan cinta yang seharusnya tidak muncul di dalam hatinya. Bukan salah Raya, ini semua salah Naja.

Naja tidak tahu kapan awal mula perasaan itu terasa oleh dirinya, juga penyebabnya-pun tidak mengerti. Naja hanya baru merasakannya akhir-akhir ini, setelah Raya mengatakan padanya kalau perempuan itu sudah menjalin hubungan kekasih dengan atasannya di kantor.

"Kalau ada apa-apa, langsung telepon gue." Naja memberi wejangan sebelum Raya turun dari mobilnya. "Inget, pemanasan dulu kalau lo nggak mau terkilir atau ada masalah di tubuh lo nantinya. Minta instruktur ngajarin atau ngarahin kalau lo bingung dan kesulitan."

Raya hanya menatap datar wajah Naja.

"Ada Saka sama Bayu di dalem," sambung Naja. "Kalau lo kenapa-kenapa, kepala mereka yang gue pelintir."

Setelah itu Raya tertawa. Barulah ia turun dari mobil dan menyaksikan mobil milik Naja menjauh dari tempatnya berdiri.

Raya melangkah masuk ke Health Six, seperti biasa, kalau akhir pekan seperti ini keadaan pusat kebugaran pasti ramai. Beberapa orang memang memilih melakukan olah raga dibandingkan menghabiskan waktu untuk tidur lebih lama. Dan hari ini Raya ingin melakukan hal yang itu, katakan saja kalau Raya bosan setiap akhir pekan bangun siang terus.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang