[16] Konser Tunggal Aditya Ravindra

821 154 109
                                    

Yang tunggal itu tidak akan selamanya sendiri, 'kan?

•°•°•

"Ibu kamu lebih suka red velvet atau cheese cake?" Raya sedikit merunduk untuk melihat jejeran kue red velvet dan cheese cake yang terpajang di etalase.

Astha tersenyum melihatnya. Bahkan senyumnya belum luntur juga ketika melihat raut wajah panik Raya begitu ia memberitahu perempuan itu kalau ia akan mengajaknya ke rumah. Hanya main, mampir, tapi berkemungkinan bertemu Ibu kalau kebetulan jam segini Ibu sudah berada di rumah.

"Tha?" Raya menoleh dan menatap ke arah Astha yang sedari hanya berdiri memeperhatikannya. "Kok malah senyum-senyum, sih?" Iya, mungkin hanya Raya yang frustasi dan gugup karena akan bertemu ibu Astha.

"Habisnya kamu gemes banget, Ya." Astha terkekeh kecil, menghiraukan karyawan toko yang menatap keduanya dengan agak aneh. "Kamu nggak bawa apa-apa buat Ibu juga nggak akan marah, Ya."

Raya berdecak kesal. Ia kembali memutar tubuhnya, menatap kembali kue-kue di etalase itu, sesaat sebelum berdiri tegak dan menatap karyawan toko yang sedari tadi menunggu Raya mengucapkan pilihan kue mana yang akan dibelinya. "Red velvet yang ini ya, Kak." Raya menunjuk satu kue red velvet pilihannya.

"Ditunggu ya, Kak," ucap karyawan perempuan itu.

"Dibungkusnya yang rapi ya, Kak," balas Raya sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke arah Astha yang ternyata sudah memilih duduk di sebuah kursi yang ada di sana.

Raya menghampiri dan ikut duduk di hadapan Astha. Ia masih gugup, tapi juga masih agak kesal karena Astha sama sekali tidak membantunya memilih kue yang kemungkinan lebih disukai ibunya. Ya, memang, sih, tadi Astha sempat melarang Raya untuk mampir ke sini karena Astha menginginkan Raya tidak membawa apa-apa ke rumahnya. Tapi Raya terus merengek dengan alasan tidak enak kalau tidak membawa apa-apa walaupun kunjungannya kali ini sangat dadakan.

"Udah milihnya?" tanya Astha.

Raya mengangguk. "Aku sebenernya masih marah lho kamu ngajak ke rumah tapi dadakan gini."

"Emang kalau nggak dadakan, kamu mau ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain, sih. Tapi 'kan senggaknya penampilan aku lebih rapi dan wangi, nggak kayak hari ini." Raya cemberut. "Liat, aku udah kusam dan bau keringet pasti."

"Nanti mandi di rumah aku, pinjem bajunya Adit pasti nggak terlalu kebesaran di badan kamu."

Raya tidak sempat menanggapi karena sudah terlanjur harus mengambil kue dan membayarnya.

Astha pikir, Raya apaan?

Ini belum tepat pukul tujuh malam. Biasanya Ibu akan sampai rumah pukul sembilan malam, paling lama ya pukul sepuluh, tapi tak jarang juga pukul delapan atau tujuh sudah ada di rumah. Tergantung kesibukan yang ada di rumah makan. Kalau Adit, tidak menentu setiap harinya. Ia bisa saja sore hari sudah ada di rumah, dan bisa juga pulang pukul sebelas malam—itu kalau sedang ada rapat organisasi bersama temannya. Atau bahkan pernah tidak pulang karena harus mengurus satu acara kampus. Dan hari ini juga Astha tidak bisa memastikan apakah Adit sudah ada di rumah atau belum.

Raya sudah lebih tenang. Tidak ada lagi pertanyaan seperti; "Tha, Ibu kamu galak nggak?", "Tha, aku berantakan banget nggak, sih?", atau "Tha, aku deg-degan masa." Intinya, Raya sekarang lebih banyak diam, lebih tenang dengan mendengarkan saluran radio yang diputar secara acak.

"Waktu kamu jenguk Papa ke rumah sakit, deg-degan juga nggak?" tanya Raya dengan menoleh sepenuhnya ke arah Astha.

Astha bergumam singkat. "Sedikit. Apalagi pas aku dateng ke ruang inapnya, orang tua kamu kayak bingung gitu; 'Ini anak nyasar dari mana?'" Astha tertawa. "Terus akhirnya aku jelasin kalau aku ini pacar kamu."

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang