[6] Katanya, Kebetulan Itu tidak Ada

929 188 57
                                    

Ini kebetulan. Tapi seolah memang takdir sudah merencanakannya sedemikian rupa.

•°•°•

Dalam dunia seni rupa, sepertinya tidak akan asing dengan nama Basuki Abdullah, Barli Sasmitawinata, Srihadi Seodarsono, dan deretan nama pelukis Indonesia lainnya. Diantara nama-nama tersebut, terselip nama Andrea Swastamita yang menjadi role model sekaligus pelukis kebanggaan Adit. Bukan sekelas Roby Dwi Antono yang karyanya berhasil dipamerkan di ajang seni rupa Art Fair di Tokyo. Atau seperti Sinta Tantra yang karya seninya sudah terpampang di ruang publik di negara-negara besar.

Bukan. Andrea Swastamita tidak seterkenal itu.

Pelukis yang sekaligus adalah ayah dari dua orang anak bernama Aditya Ravindra dan Astha Sandyakala itu mengawali karirnya dari pelukis jalanan yang biasanya ditemui di tempat-tempat wisata, hingga berhasil menjadi kebanggaan Adit dan juga Astha.

Kalau saja Bapak tidak punya kebiasaan hidup buruk dengan menghisap rokok, mungkin Adit telah menunjukan ratusan karya yang berhasil dibuatnya lewat pensil, kuas, cat, dan kanvas pada Bapak. Atau sekarang, Adit mungkin akan pergi ke pameran lukisan Naufal Abshar dengan Bapak, bukan sendiri seperti orang yang tidak punya teman apalagi pacar.

Berniat mengajak Cita agar tidak kelihatan jomblo-jomblo amat, malah berakhir mengenaskan di depan lukisan besar yang sekarang sedang Adit lihat dan amati.

Tadinya berpikir, untuk mengajak temannya yang lain, tapi tidak ada teman yang seseru Cita saat membicarakan tentang lukisan.

Jangan mengharapkan Astha, kalaupun abangnya itu sedang tidak sibuk, Adit tidak mau pergi dengan Astha. Ingin mengajak Ibu, tapi Ibu juga tidak seseru itu kalau diajak berbincang soal lukisan.

"Ternyata bener, tertawa itu nggak harus lucu." Seseorang mengomentari soal tema lukisan yang sedang di pamerkan di sini.

Adit langsung menoleh ke arah samping. Seorang perempuan dengan pencil skirt berwarna coklat dengan kemeja lengan pendek berwarna soft pink itu berdiri di samping Adit. Blazer berwarna senada tidak dipakainya dan disampirkan begitu saja di lengan perempuan itu. Dari sini Adit bisa melihat jam tangan berwarna soft pink yang entah kenapa menjadi sangat tidak asing karena perempuan tersebut memang senang sekali memakai jam tangan dengan warna yang senada dengan pakaian yang tengah dikenakannya.

"Kalau lucu tapi nggak ketawa bisa nggak sih?" Perempuan itu kemudian menoleh pada Adit dengan senyuman jahilnya. "Lucu 'kan kita? Ini takdir atau emang cuma kebetulan?"

Adit tertawa pelan, sebelum menolehkan kembali tubuhnya untuk menghadap ke lukisan yang tadi sedang dilihatnya.

Ini sangat lucu. Bagaimana Raya sekarang sudah berdiri di sampingnya adalah kebetulan tapi seolah takdir memang sudah merencanakannya sedemikian rupa. Katanya, kebetulan itu tidak ada.

"Pulang kerja, Kak?" tanya Adit mengomentari sedikit tentang pakaian Raya yang memang terlihat seperti baru pulang dari kantor.

Raya bergumam. "Niatnya lebih sore dari ini, tapi ternyata nggak bisa. Jadi saya tetep ke sini malem-malem satu jam sebelum pamerannya tutup."

"Kenapa nggak besok aja? Atau besok ada kerjaan jadi model lagi?"

"Dapet tiketnya hari ini. Besok ada kerjaan; jadi babu di rumah." Raya tertawa ringan.

Tanpa perintah, keduanya melangkah ke lukisan lainnya, bukan berhenti seperti tadi, tapi kali ini hanya menoleh sebentar lalu kembali berjalan sampai terus berbincang.

"Kenapa tadi nggak ajak Abang sekalian ke sini aja?"

Raya menoleh. Apa Adit baru saja berpikir kalau hubungan Raya dan Astha sudah sedekat itu sampai mengajak ke pameran seperti ini adalah hal yang mudah? Tidak, Adit. Raya dan Astha bahkan berlaku seperti keduanya tidak pernah makan gelato di meja yang sama selama di kantor. Keduanya ternyata memilij sikap berpura-pura tidak kenal terhadap satu sama lain.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang