[39] Jangan pernah memilih, aku bukan pilihan

471 117 34
                                    

Semilir angin malam yang berembus saat ini tidak menyurutkan kedua insan yang sedang beradu kasih, saling bersandar satu sama lain dan berbincang ringan.

Di sebuah taman kecil di rumah sakit, Cita sedang duduk bersama Adit. Kepalanya bersandar di bahu laki-laki itu, sementara tangannya sudah bertautan dengan tangan Adit. Terlihat mesra sekali, padahal perbincangan yang mereka lakukan tak jarang membuat Adit atau Cita harus kuat menahan air matanya masing-masing.

"Janji sama gue, ya, Dit," Cita bersuara. "Janji untuk sembuh, janji untuk terus sama gue."

Adit mengembuskan napas, terasa sesak sekali. "Kenapa kayak terdengar salam perpisahan sih, Cit?"

Cita berdecak, tubuhnya langsung tegak dengan sorot mata galak yang dilayangkannya. "Omongan lo kenapa jelek banget, sih?"

Adit tertawa. "Berarti muka gue ganteng?"

"Nggak!"

"Kalau nggak, lo kenapa mau sama gue?" Tangan Adit terulur untuk memainkan rambut Cita, menyelipkan ke belakang telinga, lalu kembali menatap matanya yang terhalang oleh kacamata.

Cita diam. Tidak menjawab. Kalau dia menjawab ala-ala anak bucin yang mengatakan kalau cinta tidak perlu alasan, Cita yakin, Adit pasti akan mentertawakannya dengan kencang. Bahkan untuk hari-hari berikutnya juga.

Padahal, wajah Adit itu tidak jelek-jelek amat, tapi tidak ganteng juga. Biasa saja. Cita hanya merasa nyaman di samping Adit, hari-harinya terasa begitu berwarna sekali kalau ada Adit, dan juga Cita selalu senang kala Adit membuatnya tertawa juga menghiburnya saat ia sedang bersedih.

Kalau boleh jujur, Cita memang sempat naksir sama kakak tingkat di fakultasnya. Tapi itu hanya naksir lucu-lucuan saja, tidak seserius itu. Namun ternyata, ketika Cita menceritakan hal itu pada Adit, laki-laki itu malah merespons hal yang berbeda. Jelas sekali kalau Adit tidak suka pada hal itu. Dan karena itu juga Cita jadi memanfaatkan respons Adit untuk menjahilinya.

Cita sama sekali tidak pernah jalan berdua dengan kakak tingkatnya itu, makan berdua di kantin fakultas pun tidak pernah. Jadi, semua yang Cita ceritakan pada Adit saat itu, itu hanya becandaan saja. Habisnya, Adit terlalu lucu kalau sedang merasa cemburu tapi mencoba dia tutup-tutupi.

"Cit," panggil Adit. "Maaf, ya."

"Untuk?"

"Kita pacarannya di rumah sakit terus. Lo pasti bosen."

Cite mengerjap, lalu sedetik kemudian kedua ujung bibirnya melengkung ke atas, membuat senyum simpul yang manis sekali. "Makanya tadi gue bilang, lo harus sembuh. Kalau lo sembuh, nanti gue ajak lo jalan-jalan keliling Kotu."

"Kok Kotu?" Adit protes.

"Iya, yang murah aja. Kita ke museum keramik atau museum wayang, gimana?"

Adit menatap malas. Bisa-bisanya Cita merencanakan tempat pacaran yang sudah pasaran sekali. Di kiranya Adit tidak punya uang untuk mengajak dia ke tempat yang lain apa, ya?

"Ke manapun, Dit, gue akan tetap ikut. Asal lo sembuh dulu." Cita kembali menyandarkan kepalanya di pundak Adit.

"Kalau ke surga? Lo mau ikut."

Cita mendengkus sebal. "Lagi-lagi omongan lo jelek banget. Pait tau, nggak?"

Adit terkekeh. Dia tidak menjawab atau berniat menanggapi, tangannya kini sudah terulur untuk menyentuh helaian rambut Cita. Adit tidak bercanda pada apa yang baru saja dikatakannya. Dia tahu kalau kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Dokter bilang, salah satu cara agar Adit sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa adalah dengan adanya ginjal baru, walau hanya satu.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang