Kekacauan itu seharusnya menjadi tanda, kalau akhir dari kita adalah kacau.
•°•°•
“Jangan lupa dikasih embel-embel terima kasih diakhirnya.” Yovan menggerakan kursinya kembali ke kubikelnya setelah membantu Raya menjawab sebuah e-mail yang masuk.
Raya mengacungkan satu jempolnya pada Yovan dan segera mengetik balasan yang tadi disebutkan oleh Yovan.
Sudah berapa umpatan yang diterima Raya hari ini lewat ketikan orang-orang yang dikirim ke akun resmi perusahaan? Raya pusing sendiri memikirkannya. Bahkan setelah perusahaan dengan para pimpinannya menggelar konferensi pers permintaan maaf karena rumor tidak berdasar itu, sampai hari ini Raya dan para staff lainnya masih dijejali ketikan tidak sehat.
Argh, Raya butuh sesuatu yang gurih tapi tidak cepat mengenyangkan perutnya.
“Makan, makan, makan.” Dari ujung sana Vany, selaku leader divisi berujar dengan penuh kelegaan. Lega karena akhirnya penderitaan mata seluruh rakyat divisi media sosial sementara akan ditunda. Ingat, hanya sementara.
Selesai me-sleep komputernya, Raya segera menggeser kursinya menuju kubikel Yovan yang masih membalas satu mention-an lagi. “Makan apa?” tanya Raya.
“Makan orang boleh nggak sih?”
Itu bukan Yovan, tapi Sita yang baru berdiri dan tengah merunduk ke arah kubikel Yovan yang letaknya memang berhadapan dengan kubikelnya.
“Masa tadi gue dapet de-em yang pake bahasa kasar banget.” Sita mulai meracau. “Asli, ini kasar banget, Cuy.”
“Apa?” Yovan sudah menyelesaikan pekerjaannya. “Anjing? Babi? Bangsat? Setan? Bego? Ada lagi nggak yang lebih kasar?”
Raya dan Sita mengerjap-ngerjap mendengar penuturan Yovan barusan. Ternyata Yovan juga sama jengahnya dengan Raya dan Sita, padahal di ruangan, Yovan terkenal paling sabar kalau sudah menghadapi ketikan jahat, jarang sekali menggeram atau mengumpat pelan.
“Siang, Pak,” sapa Sita dan Raya hampir berbarengan ketika melihat Astha tengah berdiri menunggu pintu lift terbuka, sedangkan Yovan hanya mengangguk.
Astha tersenyum dan membalas anggukan sopan juga. “Siang juga.”
“Baru mau istirahat, Pak?” tanya Raya.
Ya, iya lah, Raya! Orang mereka juga baru akan turun walau tadi menunggu Yovan sebentar.
“Mau ke lantai lima dulu ngasih berkas,” jawab Astha.
Syukurlah, jawabannya seperti itu, jadi Raya tidak malu-malu amat.
Pintu lift terbuka dan mereka berempat segera masuk ke dalam.
“Soto betawi enak kali, ya siang-siang gini.” Sita berseru riang. Dalam pikirannya sudah membayangkan kuat soto betawi yang memasuki tenggorokannya dengan lancar. Bisa meredam segala amarah dari ketikan-ketikan jahat itu sepertinya.
“Nggak!” tolak Raya dengan cepat. “Kemarin gue udah makan daging-dagingan di rumah. Bisa naik kolesterol gue kalau makan daging mulu, terus nanti berat badan gue ikutan naik.” Raya bergidik ngeri. “Pokoknya nggak.”
Sita berdecak sebal. Memang sih berkat mengikuti cara makan Raya yang bisa dibilang teratur dan imbang, Sita bisa menurunkan berat badannya sebanyak tiga kilogram. Tapi siang ini Sita ingin soto betawi.
Akhirnya Sita melirik pada Yovan yang berada di sampingnya, lalu menarik-narik kecil lengan kemeja Yovan. “Soto betawi, ya, Van,” ucapnya dengan nada yang dibuat manja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...