[25] Teruslah Berpura-pura, sampai Diri Sendiri Lupa kalau Sedang Berpura-pura

596 123 66
                                    

Berpura-puralah mencintaiku, sampai kamu lupa kalau sedang berpura-pura.

•°•°•

Rumah Papa dan Mama yang dulu Naja tinggali memang besar dan mewah, bahkan hanya dengan ditinggali oleh empat orang sekalipun rasanya tidak pernah sepi. Namun kali ini, apartemen yang tidak begitu luas terasa sangat sepi sekali ketika Naja tinggali seorang diri.

Mendadak Naja kangen masakan Bude Farah dan mamanya. Ia kangen juga omelan Mama ketika ketahuan minum kopi tengah malam. Juga perintah Papa yang selalu mengatakan untuk menjaga Raya dan mulai belajar bisnis agar bisa cepat meneruskan perusahaan Papa.

Sekarang, perkataan semacam itu hanya Naja temui di ponselnya, tepatnya di sebuah aplikasi chatting dengan kontak Mama dan Papa.

Entahlah, sampai sekarang Naja masih belum tahu harus menyalahkan siapa. Mungkin benar, Naja salah, namun jika mengulik lagi ke belakang, sebuah perasaan yang tiba-tiba muncul tanpa perintah itu-lah yang harusnya disalahkan karena sesungguhnya Naja tidak menginginkan hal itu.

Naja harus bersyukur kalau Bia mau membantunya untuk menghilangkan rasa itu. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan belajar mencintai Bia, menjadi kekasih perempuan itu.

Bia tahu, dalam situasi seperti ini ia akan banyak tersakiti. Namun, ia juga tidak ingin melihat orang yang dicintainya merasa bersalah hanya karena sebuah cinta.

"How's your day?" Perempuan itu bertanya, merengkuh lembut tubuh Naja.

"Buruk," jawabnya singkat. "Project saya tuh kenapa kenapa nggak pernah berjalan lancar, sih? Selalu molor," ceritanya pada Bia mengenai project barunya yang menangani sebuah pameran seni patung yang digelar oleh beberapa seniman.

Bia terkekeh. Ia melonggarkan pelukan itu untuk menatap Naja. "Saya seneng."

Naja mengerenyit, tidak mengerti. Senang kenapa? Karena melihat kerjaan Naja yang tidak lancar? Tidak mungkin seperti itu, 'kan?

"Seneng karena kamu udah bisa cerita panjang sama saya," jelas Bia tanpa dipinta, seakan mengerti ekspresi bingung Naja barusan.

Naja tersenyum. Suatu kemajuan yang baik dalam satu bulan ini. Mungkin bulan-bulan berikutnya Naja akan melupakan Raya seutuhnya dan mencintai Bia sepenuhnya. Hanya itu harapan yang Naja inginkan saat ini.

"Mau makan apa? Kamu pasti belum makan malam, 'kan?" Bia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, membuka aplikasi pemesanan makanan online.

Hari ini tidak seperti biasanya Naja pulang lebih dulu dari kantor Bia. Biasanya Naja selalu pulang larut malam, namun di kantor tadi setelah rapat pembahasan mengenai project yang akan datang, tidak ada lagi pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor, mungkin besok baru akan mulai lembur kembali. Makanya, Naja bisa pulang awal sehingga Bia juga bisa menghampiri Naja di apartemennya.

"No fast food," ujar Bia sesaat sebelum Naja mengucapkan menu makanan yang memang termasuk ke dalam makanan cepat saji.

"Kalau gitu soto betawi," ujar Naja.

"Bentar saya cari dulu." Bia mulai mengotak-atik ponselnya, mencari tempat makan yang menjual soto betawi dengan kemungkinan besar rasanya enak. Karena Bia sendiri belum pernah membeli soto betawi secara online. Mungkin ia bisa mencari tempat makan langganannya, siapa tahu bisa delivery.

"Kopi juga," ucap Naja yang sedari tadi memperhatikan layar ponsel Bia dengan jarak yang begitu dekat.

Bia menurut. Setelah memesan soto betawi yang Naja inginkan untuk mereka berdua makan, Bia kembali berselancar di aplikasi itu untuk memesankan kopi kesukaan Naja. Tidak perlu bertanya kopi apa, Bia sudah tahu dan hafal.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang