[24] Yang Jauh Akan Terasa Dekat, begitu Sebaliknya

612 138 36
                                    

"Naja nggak bilang apa-apa sama kamu, Ray?" Mama menatap Raya. Tangannya masih memegang sendok, karena mereka memang sedang makan malam. Tidak di sebuah restoran mewah, hanya di rumah dengan masakan Bude Farah karena Mama dan Papa baru pulang ke rumah siang tadi.

Raya menggeleng. Ia tidak mungkin menceritakan masalahnya dengan Naja pada Mama dan Papa, 'kan?

"Udah, biarin aja. Mau belajar mandiri kali, Ma." Papa menimpali.

"Bukan itu maksud Mama, Pa. Ini tuh tiba-tiba banget dia pindahnya. Kita pulang, kamarnya Naja udah kosong gitu aja."

Sejak tadi Mama memang tidak berhenti mengomel panjang lebar, bahkan ia meminta Naja untuk datang ke rumah dan membicarakan ini secara langsung dengan Mama dan Papa, namun Naja berdalih kalau ia sedang sibuk menata barang-barang di apartemen barunya. Yang kata Bayu, itu apartemen milik teman sekantornya yang disewakan. Kebetulan berada di gedung yang sama dengan tempat tinggal Bayu.

Sudah seminggu berlalu. Sudah seminggu juga Raya tidak bertemu dengan Naja. Mereka berdua sama-sama menghindar untuk saling bertemu satu sama lain. Naja dengan rasa bersalahnya, dan Raya yang jelas marah pada Naja.

Namun Raya sendiri tidak bisa berbohong kalau ia juga merasa bersalah pada Naja karena telah membuat Naja meninggalkan rumah demi Raya agar selalu nyaman dan tidak perlu takut.

Dan tiba-tiba saja rumah terasa sangat sepi sekali.

"Kok nggak dihabisin, Ray?" tanya Papa, melihat Raya mendorong piringnya sedikit bahkan ketika piring dan lauk di piringnya masih tersisa banyak.

"Udah kenyang," jawab Raya pelan. "Minggu depan Raya dapet kerjaan photoshoot katalog dress dari salah satu brand besar, jadi harus jaga badan." Susah payah Raya mengulas senyum lebar.

Ia tidak berbohong soal pekerjaannya itu, namun akhir-akhir ini Raya memang sangat sulit untuk berekspresi, entah senang atau sedang marah. Sita dan Yovan-pun heran melihat perubahan Raya ketika di kantor yang lebih banyak diam.

Baru Raya akan bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke kamar, suara Papa yang lebih dulu menginterupsi membuat Raya tidak jadi bergerak. Apalagi ucapannya kali ini mampu membuat tubuh Raya kaku dan jantungnya berdebar.

"Kamu nggak ngegambar lagi, 'kan, Ray?"

Sebuah kalimat yang terdengar sederhana namun bisa membuat suasana ruang makan tegang seketika.

Raya jelas tidak menjawab, hanya diam saja. Kalau ia menjawab tidak, maks itu adalah sebuah kebohongan. Tapi Raya sendiri tidak bisa berkata jujur kalau akhir-akhir kegiatan menggambarnya malah bisa terhitung sering, karena Adit yang senantiasa mengajaknya membahas perihal menggambar dan melukis. Itu sangat menyenangkan.

Sayangnya Papa dan Mama tidak suka hal itu.

"Papa nggak akan ampuni kamu lagi kalau sampai kamu ketauan menggambar lagi, Ray." Suara Papa terdengar seperti petir yang menggelegar di hati Raya. "Dengar, Raya?"

"Iya," jawab Raya pelan, masih menunduk.

Astaga, kenapa Raya sekarang jadi sensitif sekali? Mudah menangis.

Setelahnya, Raya benar-benar melangkah meninggalkan kedua orang tuanya. Samar-samar ia mendengar ucapan Mama pada Papa yang menyuruh untuk tidak terlalu keras pada Raya. Jujur, itu membuat Raya tersentuh karena Mama memang tidak pernah terlalu keras melarang Raya melakukan apa yang Raya suka.

Namun perkataan sesudahnya membuat Raya bertanya-tanya.

"Nanti malah Raya curiga, Pa."

Curiga terhadap apa? Ada yang disembunyikan dari Raya.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang