Terima kasih sudah datang. Tapi maaf, bukan seperti ini keadaan yang aku inginkan.
•°•°•
Naraya Regina A. : Dit, sorry, ya. Gue kayaknya nggak bisa ke rumah lo hari ini. Papa tiba-tiba masuk rumah sakit.
Dalam kepanikan yang terjadi setelah mendapat kabar tidak mengenakan dari Naja, Raya menyempatkan untuk memberitahu Adit kalau dirinya tidak bisa datang ke rumah Adit seperti yang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari.
Beruntung, saat Naja memberitahu tentang Papa, Raya sudah selesai pemotretan dan Naja juga sudah dalam perjalanan menuju tempat pemotretan itu untuk menjemput Raya, karena Naja tadi sedang ada di Health Six.
Jika biasanya di dalam mobil selalu ramai oleh celoteh Raya yang padahal hanya ditanggapi seadanya oleh Naja, tapi kali ini hanya ada deru kendaraan dari arah luar yang masuk ke dalam telinga keduanya. Raya sedang panik, terlihat sekali dari raut wajah dan gerak-geriknya. Serta Naja berusaha mengontrol kepanikan itu, setidaknya agar tidak menambah kepanikan bagi Raya.
Menurut informasi yang Naja dapatkan dari Bude Farah, Papa sudah dibawa ke ruang rawat inap VIP, jadi Raya dan Naja bisa langsung menuju ke sana.
Kepanikan Raya berubah jadi tangisan begitu membuka ruangan tersebut dan memperlihatkan Papa yang sedang duduk di atas tempat tidur pasien, dan Mama yang sedang duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur, terlihat keduanya sedang berbincang.
"Kok nangis?" tanya Papa dengan herannya.
Mama juga tak kalah bingungnya.
Sedangkan Raya masih sesenggukan dengan Naja yang memegang kedua bahu Raya dari belakang, seperti sedang mendorong langkah Raya agar lebih masuk ke dalam ruangan dan segera menutup pintu.
"Raya takut ...," ucap Raya yang masih berusaha mengatur napas dan suaranya.
Semua orang yang ada di sana terkekeh, yang jelas kecuali Raya. Naja yang tadinya panik juga tiba-tiba biasa saja karena ternyata kondisi Papa tidak separah yang dibayangkan. Sesingkat apapun pesan yang dikirimkan Bude Farah pada Naja tadi, tetap saja itu mampu membuat Naja takut, karena bahkan yang memberitahunya bukan Mama, tapi Bude Farah.
"Sini, sini, duduk." Papa menepuk-nepuk sisi tempat tidurnya agar Raya yang masih mengeluarkan air mata duduk di sana, berhadapan dengannya.
Raya kemudian menurut. Tak lama setelah Raya duduk di sana, Papa mengulurkan tangannya untuk menghapus jejak-jejak air mata di pipi Raya, sambil terus terkekeh. Tidak dibayangkan kalau kondisinya saat ini bisa membuat Raya menangis sampai sesenggukan.
"Udah, jangan nangis, Papa nggak apa-apa kok," ucap Papa berusaha menenangkan Raya.
"Tapi tangan Papa diinfus, itu pasti sakit."
Kalau sudah berhadapan dengan Papa atau Mama, Raya bukanlah seorang perempuan dewasa, tapi hanya sebagai anak kecil yang masih suka sekali dimanja keduanya.
"Bude Farah ke mana, Ma?" tanya Naja pada Mama yang kini sedang mengupas sebuah jeruk.
"Pulang, soalnya di rumah belum masak apa-apa buat kalian berdua." Mama memberikan jeruk yang sudah dikupasnya pada Naja. "Nanti sore pulang aja. Biar Mama yang jagain Papa di sini, besok kerja, 'kan?"
"Nggak!" Raya menjawab cepat. "Raya mau di sini aja temenin Papa." Tangisnya sudah mereda.
"Nggak boleh gitu, dong, Ray. Kerjaannya nggak boleh ditinggalin," ujar Papa. "Lagian Papa beneran udah nggak apa-apa, ini tuh hanya demam biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...