[17] Ini Masalah Serius, jadi tidak Seharusnya seperti Itu

755 146 76
                                    

Air yang turun dari atas langit itu namanya hujan. Dan air yang turun dari mata itu namanya tangisan. Boleh kok nangis sampai sesenggukan, tapi ingat, hujan saja bisa berhenti, masa tangisan tidak?

•°•°•

Akhir-akhir ini memang sering turun hujan, mungkin karena memang sudah masuk musim penghujan juga. Seperti sore ini, di sebuah kedai gelato, Adit duduk dengan tunggal sambil memakan gelatonya yang perhalan mencair. Ia duduk di tempat paling ujung, sengaja mengambil tempat di sisi dinding kaca agar dapat melihat bagaimana tetes air hujan itu turun membasasi jalanan.

Sepulang kuliah tadi, sebelum hujan turun, Adit langsung ke sini bersama dengan Cita yang memang ada jadwal kerja paruh waktu sampai malam nanti.

Jika sedang musim penghujan seperti ini, kedai memang agak sepi keadaannya. Mungkin karena orang-orang terlalu malas memakan sesuatu yang dingin di cuaca yang dingin. Tapi jelas itu tidak membuat Adit absen untuk datang ke sini. Ya, walau harus merogoh kocek untuk membeli gelato, tapi 'kan dapat bonus melihat Cita juga.

Pandangannya yang sedari tadi menatap ke arah luar, langsung teralihkan begitu mendengar suara ketukan kecil dari sebuah benda yang ditaruh di atas meja.

Adit menoleh, dan menemukan Cita yang baru saja menaruh sebuah cokelat panas ke atas mejanya, bahkan gelas itu masih mengepulkan asap halus karena isinya mungkin terlalu panas.

"Gue nggak ada uang lagi, udah cukup gelato aja," ujar Adit, menolak cokelat panas itu yang memang jelas-jelas disodorkan untuknya.

Cita berdecak, kemudian ia ikut duduk di hadapan Adit yang sudah kembali melihat ke arah luar. "Ini gratis," ujarnya.

Adit kembali menoleh, kembali menatap perempuan yang rambutnya tengah diikat satu karena kewajiban ketika bekerja di sini, juga kaca matanya yang selalu memberi kesan manis tersendiri bagi Adit. Adit tersenyum lebar. Sebagai bentuk rasa senangnya, ia langsung akan meminum minuman itu, namun belum juga tangannya menyentuh badan gelas, gelas tersebut sudah ditarik menjauh oleh Cita. Hingga Adit menatap bingung.

"Masih panas, Dit."

Adit terkekeh.

"Masih belum ngasih tau Ibu sama abang lo?" tanya Cita serius, dan itu membuat air muka Adit tiba-tiba saja berubah seketika menjadi mendung, seperti hujan di luar sana.

Adit diam, tidak menjawab. Ia lebih memilih memutus kontak mata dengan Cita dengan kembali menatap air hujan yang sudah tidak sederas beberapa saat lalu.

"Dit." Cita mencoba membuat Adit membuka mulut, namun gagal. Adit tetap dalam pendiriannya. "Mau sampai kapan?" tanya Cita.

"Apa, Cit?"

Cita tahu, Adit hanya pura-pura tidak mengerti. "Lo tau apa yang gue maksud."

Adit menghela napas. Kali ini fokusnya sudah tertuju pada kepulan asap tipis yang mulai menghilang di atas gelas, juga gelato yang sudah mencair di tempatnya. "Nanti," balasnya singkat.

"Kapan?"

Astaga! Cita nampak mulai frustasi.

"Nggak tau," jawab Adit pelan.

Satu yang perlu digaris bawahi, bahwa saat ini Adit sedang memperlihatkan sisi lainnya, bukan seperti biasanya yang selalu banyak tingkah dan banyak bicara. Kali ini, di depan Cita, seorang perempuan yang Astha dan Raya ketahui adalah perempuan yang Adit sukai, Adit lebih banyak menghela napas.

Benar, bahwa Adit memang menyukai Cita. Namun Astha memang selalu melebih-lebihkan keadaan. Atau mungkin Adit saja yang selalu membuatnya agar terlihat kisah cintanya ini sangat dramatis. Dan mungkin memang betulan dramatis. Karena pada kenyataannya, Adit tetap ingin bersama dengan Cita dengan tidak merusak label pertemanan mereka hanya karena sebuah perasaan Adit yang tidak sejalan dengan Cita.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang