[22] Sang Tuan yang Membius ke dalam Keadaan Ternyaman

747 140 29
                                    

Padahal, saat Astha berangkat mengantar Ibu ke tempat saudaranya di Bekasi sore tadi tidak akan ada tanda-tanda akan hujan. Namun memang kalau sudah menyangkut tentang cuaca, menebak saja tidak cukup. Tidak jarang meleset dari tebakannya, akhir-akhir ini selalu begitu soalnya.

Astha sudah sejak tadi menggerutu akan turunnya hujan malam ini, masalahnya bukan karena Astha sedang mengendarai motor dan harus menepi dulu sampai hujan berhenti. Tapi beberapa waktu lalu itu Raya baru saja mengehubunginya sambil menangis sesenggukan, dan yang paling membuat Astha khawatir adalah bagaimana Raya meminta tolong untuk menjemputnya dengan suara bergetar.

Pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran terus menumpuk di kepala Astha; apa Raya kehujanan? Apa Raya baik-baik saja? Apa Raya sudah berhenti menangis?

Semuanya hampir menguak ketika Astha melihat sosok itu, tengah duduk di sebuah halte, tertunduk dengan pakaian yang sedikit basah. Setelah ia menepikan mobil, membunyikan klakson, Raya dengan cepat langsung masuk ke dalam mobil, mengabaikan tetesan air hujan yang membasahinya ketika melangkah.

"Ya ...," lirih Astha melihat bagaimana Raya sangat kacau sekali.

Dengan cepat Astha membawa Raya ke pelukannya, membuat Raya kembali menumpahkan tangisannya. Astha mengusap punggung Raya, menyalurkan sebuah kehangatan dan ketenangan pada kekasihnya. Sedangkan Raya, ia sudah sejak tadi sesenggukan dengan menenggelamkan wajahnyan di leher Astha.

Walau penasaran, Astha tidak ingin bertanya dulu. Biarkan Raya tenang terlebih dahulu.

Untuk beberapa waktu, keduanya berada dalam posisi seperti itu sementara hujan di luar semakin deras, seolah memberitahu kalau memang Raya tengah benar-benar bersedih.

Setelah Astha merasa kalau Raya sudah jauh lebih baik, Astha segera merenggangkan rengkuhan itu, menatap Raya dengan teduhnya, mengusap jejak-jejak air mata di pipi Raya. Sementara Raya masih belum bisa berkata-apa.

Entah apa yang sedang Astha pikirkan saat itu, ia memberi kecupan di bibir Raya. Berniat hanya sekedar ciuman singkat sebagai saluran kekuatan yang lain, namun Raya justru melingkarkan tangannya di tengkuk Astha, membuat mereka saling merapatkan diri masing-masing. Tanpa ada perintah atau sebuah paksaan, Astha mulai bergerak memagut bibir itu, membuai Raya ke dalam keadaan paling menyenangkan yang mampu membuatnya seketika melupakan apa yang sedari tadi mengacaukan pikirannya.

Seolah memang tidak takut kalau mereka bisa saja kepergok oleh siapapun yang melintas di sana atau bahkan petugas keamanan yang kebetulan ada di sana, Astha melakukan segala gigitan kecil yang membuat Raya mau, tidak mau membuka mulutnya. Astha benar-benar berhasil membawa Raya seperti melayang di luar angkasa.

"Better?" tanya Astha begitu pagutan itu terlepas dan keduanya saling pandangan dengan napas yang masih tersengal.

Raya mengangguk kecil. Tidak bohong, jelas sentuhan itu berhasil membuat tubuhnya seketika menghangat padahal dari tadi ia kedinginan. Lalu kembali menarik tengkuk Astha untuk menyatukan apa yang tadi terputus.

Mereka kembali menyatu. Astha mencium Raya lebih dalam, lebih tajam, dan lebih berantakan dari sebelumnya, hingga dalam satu waktu ia mulai menurunkan bibirnya untuk menjelajahi leher jenjang Raya, mengecupnya di sana, membuat tangan Raya bergerak di rambut belakang Astha.

Namun sebelum Astha menjauhkan wajahnya dari leher Raya, sebelah tangan yang semula melingkar di pinggang Raya bergerak menyelusuri dashboard, mencari sesuatu di atas sana. Setelah ketemu, Astha mengambil dan menariknya, lalu begitu saja menempelkan benda itu ke leher Raya tepat ketika Astha menjauhkan diri.

Raya menunduk, melihat beberapa lembar tisu di lehernya, lalu senyum kikuk terulas di bibir Astha.

"Takut kamu ... jijik." Astha menyengir, meraih tisu di leher Raya dan mengusapnya secara perlahan.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang