[31] Hancur, Lebur, tak Berbentuk

541 133 13
                                    

Adit mengetuk-mengetukkan jari telunjuknya di atas meja. Adit sudah memutuskan untuk memberitahu Astha dan Ibu, namun tiba-tiba kembali ragu. Memikirkan bagaimana respons mereka membuat Adit merasa bersalah. Iya, hanya dengan memikirkannya saja sudah bisa membuat Adit takut.

Tapi seperti kata Cita, semuanya tidak mungkin terus ditunda. Sampai kapan? Sampai Adit semakin parah? Kalau begitu, mungkin hari ini tepatnya.

Adit baru saja memeriksa kembali kesehatannya, dan seperti yang sudah ia bayangkan kalau hasilnya ... buruk. Adit harus semakin sering hemodialisis.

"Dit." Suara pintu diketuk, diiringi suara Ibu yang memanggil dari arah luar kamar Adit. "Kamu jadi mau cerita nggak? Ibu mau mandi dulu, ya."

"I-iya. Ibu mandi aja dulu, nanti Adit tunggu di bawah," balas Adit gugup. Ibu pasti baru pulang dari rumah makan.

Kertas hasil pemeriksaan hari ini Adit lipat kembali dan ia masukkan ke saku celananya. Adit menghela napas panjang, ini semua harus dihadapinya.

Dengan keberanian yang dikumpulkannya sejak pagi tadi, Adit melangkah keluar dari kamarnya, berjalan menuruni anak tangga untuk bergabung bersama Astha di ruang tengah. Ah ... entah kenapa makanan ringan dalam stoples yang sudah kembali terisi itu tidak terlihat menarik untuk saat ini. Jangankan untuk menelan kunyahan makanan, menelan air liurnya sendiri pun rasanya sulit.

"Lo mau ngomong apa, sih?" tanya Astha penasaran.

Adit memang tidak hanya memberitahu Ibu sore tadi kalau ia ingin membicarakan sesuatu setelah mereka semua sampai rumah, tapi pada Astha juga. Aneh, sih, tiba-tiba mengetahui kalau Adit ingin berbicara serius.

"Tunggu Ibu." Adit mengambil remote televisi di atas meja dan memindah asal saluran televisi. Acara apa yang sekiranya menarik malam ini? Adit ingin terdistraksi.

"Lo dapet beasiswa ke Jepang, ya?" tebak Astha antusias.

Adit menatap Astha datar. Sayangnya, ini bukan kabar baik. "Gue aminin jangan?"

"Aminin aja, lha. Siapa tau lo beneran ke Jepang nanti ikut bikin animasi buat anime-anime gitu. Lo 'kan suka banget tuh nontonin yang begituan." Astha membuka tutup stoples dan memakan isinya.

Jika biasanya Adit akan mencak-mencak saat melihat camilannya dimakan Astha, kali ini lagi-lagi Adit hanya diam melihat.

"Kalau yang mau gue omongin ini hal buruk, gimana?" Air muka Adit serius, namun sayangnya Astha tidak menangkap hal itu.

"Lo dipecat dari kafe, ya?" Astha tertawa. "Bagus, dong. Gue 'kan emang dari awal nggak setuju."

Adit berdecak. Melempar begitu saja remote televisi yang dipegangnya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada sebelum bersandar ke sofa.

"Udah. Jangan ngomongin kerjaan. Gue udah stres mikirin kerjaan gue." Tiba-tiba mood Astha berubah jelek saat mengingat apa yang terjadi di perusahaan tempatnya bekerja, yang agak mengancam hubungannya dengan Raya.

"Kenapa?" tanya Adit penasaran. "Lo dapet SP?"

"Lebih parah dari itu kalau gue ketauan pacaran sama Raya."

Kali ini Adit yang tertawa. Merasa kasihan dengan abangnya sendiri yang sekarang penuh raut wajah menyedihkan. "Lo nggak dibolehin pacaran satu kantor, ya?"

Astha mengangguk, mengingat kembali betapa emosinya ia ketika harus pasrah keputusan itu disetujui semua pihak termasuk yang paling atas di perusahaan demi terhindarkan kasus-kasus serupa.

Raya mengatakan kalau ia akan resign sebelum orang lain mengetahui hubungan mereka, namun Astha merasa bersalah. Apalagi ketika Raya mengatakan kalau ia tidak bisa membuat Astha yang mengalah dengan posisi jabatan Astha yang sudah bagus di kantor.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang