[18] Berharap, Semuanya tidak Pernah Terjadi Sama Sekali

665 144 60
                                    

Ada banyak hal yang berubah saat Raya memutuskan untuk menerima ajakan berpacaran Astha saat itu. Yang paling terasa jelas adalah Raya yang lebih sering berdebar hanya karena hal-hal sepele yang menyangkut tentang Astha; balasan pesan singkatnya, curi tatapanya ketika di kantor, atau menyusun cara agar tidak ketahuan oleh orang lain ketika keduanya pulang bersama.

Mereka masih belum mau membeberkan hubungannya ke khalayak umum. Bahkan Sita, Yovan, dan Hara saja tidak tahu soal. Di kantor, hanya Bia yang tahu. Bukan karena memang perusahaan melarang pegawainya berkencan dengan rekan kerja lainnya, tapi karena Raya dan Astha tidak ingin orang-orang melihat mereka dengan sisi yang berbeda.

Raya sendiri tidak suka jika nantinya dikenal sebagai; Raya kekasihnya manager divisi call center. Karena Raya akan lebih memilih untuk tidak dikenal.

"Ooo .... Naraya," ledek Sita tiba-tiba. "Gue baru liat foto-foto terbaru lo." Lalu ia memperlihatkan ponselnya yang sedang menampilkan sebuah laman web online shop, dengan Raya sebagai model katalog untuk sebuah celana.

"Mana? Liat." Yovan ikut menimbrung, merebut ponsel Sita untuk melihat dengan jelas foto-foto Raya.

Sementara Raya hanya tersenyum malu, tidak berkomentar apa-apa.

Mereka berdua sedang berdiri di depan pintu lift bersama beberapa orang lainnya untuk turun dan makan siang.

"Tahun ini udah ngambil cuti belum?" tanya Yovan.

Sita menggeleng. "Cuti ke mana? Mau liburan?"

"Yuk!" seru Raya.

"Ah, males," balas Yovan. "Lo akhir-akhir ini sering banget batalin janji gitu aja."

Jadi ingat sekitar dua bulan yang lalu saat mereka sudah merencanakan untuk nonton film bersama dengan Yovan yang akan mentraktir keduanya Chatime, tapi tiba-tiba Astha mengajak Raya ke suatu tempat, dan itu adalah rumah Astha.

Belum sempat Sita atau Raya menanggapi hal itu, mereka semua yang sedang menunggu lift terbuka langsung menoleh ke arah beberapa orang yang berjalan ke arah mereka, itu adalah atasan mereka yang sepertinya akan mengadakan meeting di luar kantor.

Tadi Astha yang bilang begitu pada Raya lewat pesan singkat yang dikirimnya sekitar dua jam yang lalu.

Dan benar, selain ada Irga, ada Astha juga di sana, menatap jahil ke arah Raya. Ia tersenyum, namun tidak ditunjukkan dengan jelas. Sampai akhirnya, keduanya berdiri bersebelahan di dalam lift.

Astaga! Ini mirip sekali kejadian saat ponsel Raya berdering nyaring di dalam lift yang penuh. Kali ini tidak akan ada hal semacam itu lagi, 'kan? Karena Raya jelas-jelas sudah tidak pernah mengubah ponselnya dalam mode dering.

Raya mencuri lirik ke arah Astha dengan sedikit mendongak. Sementara Astha yang menyadari hal itu, perlahan tangannya dengan sembunyi-sembunyi meraih tangan Raya dan memegangnya. Raya jelas tersentak, jantungnya kembali berdebar tidak karuan, namun sebisa mungkin Raya mencoba mengatur segalanya.

Dan itu ternyata tidak berhenti sampai di sana saja. Di lantai berikutnya, lift berhenti dan pintunya terbuka, memasukkan beberapa orang yang juga akan ikut turun ke bawah. Seketika lift menjadi penuh dan sesak, lalu sebelum mereka yang berada di dalam tidak bisa bergerak karena terlalu penuh, Astha dengan sigap menarik tangan Raya untuk berdiri di hadapannya dengan posisi Astha yang memang berdiri di pojok kanan lift.

Sensasi macam apa ini? Punggung Raya benar-benar menempel di tubuh Astha. Dan Astha sudah tidak hanya memegang tangan Raya, melainkan tangannya bergerak melingkar di pinggang Raya.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang