[35] Yang selalu bersama hingga menjadi sepasang

481 132 17
                                    

Sebenarnya, Astha takut kalau Raya bosan pada apa yang dilakukannya akhir-akhir ini; mengeluh, menghela napas, dan sering kali melamun hingga tak jarang mengabaikan suara Raya.

Tapi memang begitu keadaannya saat ini. Astha susah untuk sekedar tersenyum, susah untuk fokus, semuanya seakan berantakan sekali. Hidupnya terasa hancur berantakan dalam waktu sekejap saja.

"Kapan kalian berdua mau gue lukisin?" tanya Adit. Ia sedang duduk di atas ranjang rumah sakit, lengkap dengan pakaian rumah sakit juga. Wajahnya terlihat ceria. "Gue nggak sabar dapet upah dua kali lipat dari kakak ipar gue." Adit melirik jahil ke arah Raya.

"Cita nggak ke sini?" tanya Astha mengalihkan.

"Ngapain lo nanya-nanya pacar gue?"

Oke, sepertinya dua bersaudara ini agaknya sedikit sensitif pada pasangan masing-masing, karena Raya dapat melihat sifat Astha dalam tubuh Adit yang sayangnya menyebalkan itu.

Oh, ayolah. Kalau memang sudah punya pasangan masing-masing, kenapa masih suka sewot, sih?

"Ya, mending aku anter kamu pulang aja. Nggak usah diurusin Si Adit ini," balas Astha tak kalah ketus.

Raya terkekeh kecil, lalu memberikan piring berisi potongan-potongan kecil apel yang tadi Raya persiapkan.

"Kayaknya, pacar lo ini sekarang lebih sayang sama gue daripada sama lo." Adit memasukkan satu potong apel ke dalam mulutnya. "Kak, lo mau jadi selingkuhan gue aja, nggak?" tanya Adit dengan mulut yang masih mengunyah apel tersebut.

"Gue telepon Cita sekarang juga, dan bilang kalau lo selingkuh," ancam Astha yang sudah mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.

"Apa, sih, ini ribut-ribut?" Ibu kemudian masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa lauk yang diambilnya dari rumah makan.

Raya kemudian dengan cepat membantu Ibu menaruh bawaannya ke atas meja. Ya, karena terlalu sering ke rumah sakit, keduanya jadi tambah begitu akrab.

"Belum makan malem, 'kan?" Ibu membongkar bawaannya. "Ayo, cepet makan dulu selagi masih anget."

Semenjak Adit dirawat di rumah sakit, ternyata bukan hanya Adit saja yang menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduanya saat ini, tapi Astha dan juga Ibu menganggapnya sama. Mereka pasti selalu menyempatkan mampir untuk sekedar mengajak berbicara atau bahkan hanya sekedar melihat keadaan Adit. Setidaknya itu yang keduanya bisa lakukan agar Adit tidak merasa kesepian.

Hal itu juga yang Raya jadikan alasan untuk bisa berkunjung ke rumah sakit sesering mungkin—selain karena memang Raya yang tidak ada kerjaan apa-apa. Dan Raya patut bersyukur kalau dengan ia datang menjenguk Adit, saat itu juga Raya bisa kembali menggambar atau melukis tanpa takut ketahuan Papa dan Mama.

Di tengah-tengah acara makan malam Raya dan Astha, Cita datang dan mengundang senyum lebar Aditya Ravindra begitu melihatnya.

"Gue bawa beberapa komik buat lo baca kalau bosen ngegambar." Cita meletakkan paper bag berisi komik koleksinya dan juga koleksi adik laki-lakinya di rumah, yang sudah sejak beberapa hari lalu Cita pinjam dengan agak sedikit memohon pada Sang adik.

"Bahaya kalau nanti hobi gue dari menggambar malah beralih ke mengarang bebas naskah komik." Adit mengambil satu per satu buku komik itu dan meletakkannya di atas kasur.

"Nggak apa-apa, dong, bagus. Nanti gue cariin penerbit yang bagus buat lo terbitin komik," balas Cita, ia sudah duduk di tepi ranjang karena Adit memberi kode kecil tadi.

"Nggak bisa," Adit kembali memasukkan komik itu ke dalam paper bag, "nanti gue nggak jadi dapet bayaran dua kali lipat dari Kak Raya."

Yang disebut namanya langsung terbatuk, dan Astha dengan cekatan langsung menyodorkan segelas minum.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang