[7] Pendekatan dalam Kecanggungan

929 184 55
                                    

Andai saat itu kita tidak berusaha mengikis kecanggungan, apa yang akan terjadi?

•°•°•

Sampai detik ini, Naja masih tidak menyangka kalau dirinya benar-benar berkomunikasi dengan perempuan bernama Bia. Walau masih jenis komunikasi yang kaku dan dengan waktu yang terbilang tidak terlalu sering, tapi itu sudah termasuk kemajuan untuk Naja yang memang agak susah untuk berkomunikasi dengan perempuan yang bukan rekan kerja.

Jadi rencananya, malam ini sepulang dari mengecek berjalannya event pameran tunggal salah satu pelukis muda Indonesia yang beberapa waktu kebelakang Naja kerjakan, Naja akan bertemu dengan Bia. Mungkin ini karena memang takdir Naja yang sulit untuk berurusan dengan perempuan, di tempat event, Naja ditelepon oleh atasannya agar segera ke kantor untuk mengadakan rapat.

Naja pikir, ini masih berurusan dengan event yang sedang berlangsung, sehingga selama di perjalanan menuju kantor, Naja tak berhenti pusing dan bingung sendirian. Tapi ternyata bukan itu. Perusahaan tempat Naja bekerja mendapat tugas lagi untuk mengurus sebuah acara pembukaan toko furniture brand besar di daerah Tangerang Selatan. Sepertinya yang kali ini selain akan membuat Naja stres seperti biasanya, tapi juga akan membuat lelah lebih banyak karena harus menempuh jarak yang cukup jauh dari kantor atau rumahnya.

Dengan terburu, Naja menutup pintu mobil dan segera melangkahkan kaki menuju sebuah kafe di mana dirinya dan Bia janji untuk bertemu.

Naja belum pernah bertemu dengan Bia, sekalipun selama hampir seminggu menjalin komunikasi tukar pesan singkat. Jadi yang diharapkannya saat ini adalah mengetahui Bia dari foto yang dilihatnya di media sosial milik Bia sendiri, karena Bia mengabari Naja kalau dirinya sudah datang sejak setengah jam yang lalu.

Selain blouse navy yang dikenakan Bia saat ini, potongan rambut pendek Bia juga menjadi patokan Naja untuk mencari di mana Bia duduk sekarang. Bia tidak memberitahu nomor mejanya, hanya memberitahu warna baju yang dikenakannya. Beruntung, pengunjung kafe di pukul hampir sembilan malam ini tidak begitu ramai sehingga Naja tidak perlu waktu lama untuk menemukan sosok perempuan yang kini sedang menunduk memainkan ponsel sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan.

"Bia?" tanya Naja pada perempuan tersebut. Memastikan kalau dirinya sedang tidak asal tebak karena warna baju yang dikenakan.

Perempuan itu mendongak, tidak lama tersenyum sambil mematikan ponsel dan meletakannya di atas meja. "Najandra ...?"

Naja menghela napas kelegaan, lalu menarik kursi kosong di hadapan Bia sebelum mendudukinya. "Sorry, rapatnya bener-bener dadakan banget."

"Nggak apa-apa."

Naja memang tadi sudah menyuruh Bia untuk pulang saja daripada menunggunya dalam waktu yang tidak pasti, tapi Bia mengatakan, tidak apa-apa menunggu Naja, karena katanya, Bia memang sedang ingin keluar dan bosan merasa di rumah. Terbukti dari pakaian kantor yang masih dikenakannya. Bia belum pulang ke rumah.

"Mau pesen sesuatu?" tanya Bia.

"Boleh deh. Eum ... ice americano."

Seperti biasa. Naja lebih memilih minuman yang pahit daripada iced coffee atau cold brew yang umumnya punya rasa manis. Berbeda dengan Raya yang bisa dibilang maniak manis, Naja malah sebaliknya. Bukan tidak suka, melainkan memang tidak sesuka itu. Selagi bisa memilih minuman atau makanan gurih, asin, pedas, atau pahit, maka Naja akan menghindari yang manis.

Tolong digaris bawahi, kecuali gelato.

"Makanannya?" tanya Bia ditengah pembicaraannya dengan salah satu pegawai kafe yang menghampiri mereka untuk menanyakan pesanan.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang