Kira-kira sudah berapa lama Naja memutuskan untuk tinggal sendiri? Tidak terlalu lama, namun sudah cukup untuk membuatnya rindu masakan Bude Farah dan juga Mama.
Mama berkali-kali berkunjung ke apartemen Naja, namun tidak pernah sekalian membawakan Naja makanan yang dimasak dari rumah, malah Mama sibuk mengomeli Naja yang semenjak tinggal sendiri, makan dan segala apapun itu jadi tidak teratur dan jorok.
Joroknya Mama itu adalah ketika Naja terlalu sering makan fast food. Ya ... mau bagaimana lagi, yang enak hanya itu. Kalaupun ingin masakan rumahan, rasanya selalu tidak sesuai dengan lidah Naja. Apalagi kalau makannya hanya seorang diri di apartemen.
Bia tidak setiap malam datang ke apartemen Naja. Sekalipun datang, perempuan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Mama; mengomel. Namun, enaknya, kalau ada Bia, Naja jadi tidak perlu beli makanan dari luar, karena Bia akan menyempatkan diri untuk masak. Setidaknya kompor di pantry berfungsi sebagaimana mestinya kalau ada Bia.
Namun tetap saja akan berakhir order makanan dari luar kalau Naja lupa membeli bahan masakan dan lemari pendinginnya hanya berisi air mineral, cola, dan juga makanan ringan.
Oh iya, kebiasaan meminum bir Naja sudah mulai berkurang dan tergantikan oleh cola. Itu berkat Bia.
Ada perasaan gugup yang sebenarnya Naja rasakan kala menginjakkan kembali kakinya ke rumah. Ia masih takut bertemu Raya dan menimbulkan gejolak-gejolak sialan itu. Namun Bia mengatakan kalau setidaknya Naja harus bertemu dengan Raya untuk memastikan apakah rasa itu beneran masih ada atau tidak.
"Kok nggak bilang Mama, sih, kalau mau pulang?" Mama menyambut antusias kepulangan Naja. Ia bahkan melingkarkan tangannya di lengan Naja, menuntun Naja untuk masuk ke dalam rumah.
"Emang kalau mau pulang ke rumah sendiri harus bilang-bilang?"
Mama tertawa. "Bukan begitu. 'Kan kalau kamu bilang mau pulang, Mama bisa sisain makan malem buat kamu. Kamu pasti belum makan, 'kan?"
Naja terkekeh. Memang belum. Ia dari kantor langsung meluncur ke rumah. Bahkan belum berganti pakaian, apalagi mandi. Ini juga tidak biasanya Mama mau menempeli Naja yang baru pulang dari kantor seperti ini. Biasanya, Mama langsung menyuruh Naja untuk segera mandi sebelum menyentuh apapun yang ada di pantry.
Keinginan untuk makan malam masakan Bude Farah dan juga Mama sepertinya harus digulung rapi. Ya ... ini akibat Naja juga, sih, yang tidak memberitahu terlebih dahulu kalau akan pulang.
"Raya udah pulang?" tanya Naja, pandangannya melihat ke arah lantai dua.
"Udah dari tadi," jawab Mama. "Kamu ajak keluar, deh."
Naja menatap Mama bingung. Kenapa tiba-tiba sekali?
Mama menghela napas. "Nggak apa-apa, ajak keluar aja. Ajakin ngobrol."
Sepertinya Raya sedang ada masalah yang jelas tidak Naja ketahui. Karena semenjak kejadian itu, komunikasi keduanya tiba-tiba terputus begitu saja, dan Raya tidak pernah bercerita apapun lagi pada Naja.
Apa Raya putus dengan kekasihnya itu? Sepertinya tidak mungkin. Atau sedang ada masalah di kantornya? Tapi Raya bukan tipe orang yang suka berlarut-larut memendam jika masalahnya ada di kantor, apalagi kalau sampai di bawa ke rumah. Kemungkinan besar, ini masalah yang berkaitan dengan Mama atau Papa.
"Ya udah, Naja ke atas dulu."
Lalu Naja melangkah ragu menaiki anak tangga. Langkahnya bukan bergerak menuju kamarnya, melainkan menuju kamar Raya. Ada debar gugup yang menjalar, serta ketakutan akan apa yang ia rasakan nantinya saat menatap mata Raya. Namun ada juga kelegaan yang dibalik langkah ringannya, serta sedikit khawatir pada keadaan Raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Mentari
Romance[SELESAI] Menjadi kembaran Naja, Raya pikir, sudah menjadi hal yang mampu membuat hidupnya menenangkan dan menyenangkan. Tapi ternyata semesta tidak pernah sesederhana itu untuk menciptakan sebuah takdir. Kisah cintanya perlahan menjadi rumit saat b...