[11] Rasa Menyesal Itu Adanya di Akhir

769 167 33
                                    

Boleh tidak sih kita menyesal akan takdir ini? Takdir yang sudah mempertemukan kita. Bukankah lebih baik kalau kita tidak mengenal sejak awal?

•°•°•

Jarang sekali di hari kerja seperti ini Naja mampir ke Health Six, apalagi sepulang dari kantor. Tapi karena hari ini dirinya sedang berada di kantor—akhir-akhir ini Naja lebih sering ke Tangerang untuk mengurus event-nya itu—dan sangat kebetulan sekali bisa pulang sesuai dengan jam pulang kantor, karena biasanya Naja selalu pulang larut malam.

Ada yang tidak biasa juga yang Naja lakukan hari ini; menjemput seseorang yang bukan Raya. Kalau pulang cepat Naja akan menyempatkan diri untuk menjemput Raya di kantornya, tapi kali ini bukan Raya yang dijemputnya, melainkan perempuan lain.

Bianca.

Sangat lucu memang, Naja ke kantor Raya tapi bukan untuk menjemput Raya. Tadi Naja sempat berpapasan dengan Raya yang katanya akan bertemu sebentar dengan laki-laki bernama Adit yang setelah kejadian meretakkan layar ponsel Raya itu, Naja tidak pernah bertemu lagi dengannya, padahal Raya sudah akrab sekali dengan Adit.

“Nggak apa-apa ‘kan ke sini dulu?” tanya Naja begitu memarkir mobilnya. “Saya ada perlu sama Saka.”

Bia memang tadinya hanya tahu kalau Naja akan mengajaknya menonton film dan makan malam karena kebetulan sedang sama-sama punya sedikit waktu luang selain weekend, tapi Naja baru memberitahu Bia kalau akan mengajaknya ke Health Six begitu Bia sudah berada di dalam mobil Naja.

“Banyak orang?” tanya Bia begitu keduanya sudah turun dari mobil.

Naja kemudian melihat jam dipergelangan tangannya. “Ada, tapi nggak banyak. Nanti agak maleman baru ramean, tapi nggak seramai weekend juga, sih.”

Bia tersenyum. Masalahnya, Bia memang sama sekali belum pernah ke tempat pusat kebugaran yang mayoritasnya beranggotakan laki-laki, karena yoga dan pilates menjadi pilihan Bia untuk berolahraga, dan yang pastinya rata-rata anggotanya adalah perempuan.

Kemudian Bia begitu saja mengekori Naja untuk masuk ke dalam sana. Benar apa yang dikatakan Naja, tidak terlalu banyak orang yang sedang ada di sini, hanya ada dua atau tiga orang saja yang sedang berolahraga.

“Oooyyyy ...,” teriak Saka begitu melihat kedatangan Naja. “Anjir, udah bawa cewek aja nih. Halo, Bia. Udah lama banget kita nggak ketemu, ya.” Lalu Saka dan Bia melakukan high five. “Perasaan waktu itu rambut lo panjang, deh, sekarang jadi pendek gini. Lagi buang sial?”

Kaduanya tertawa. Tidak lagi memperdulikan Naja yang sedang mencari tempat duduk untuk Bia.

“Apa hubungannya potong rambut sama buang sial?” tanya Bia sedikit heran dengan apa yang diucapkan Saka barusan. Mitos dari mana coba hal itu?

“Ada lah. ‘Kan waktu itu kita ketemunya pas lo baru diputusin cowok lo yang selingkuh itu.” Tanpa sadar Saka baru saja menceritakan suatu kejadian yang tidak Naja ketahui.

Entah karena terlalu tidak peduli atau memang Naja yang memang tidak ingin mencari tahu kehidupan pribadi Bia lebih dalam, karena Naja sekalipun tidak pernah menanyakan hal-hal semacam itu pada Bia. Hubungan mereka sejauh ini hanya sebatas membicarakan masa kini, tidak ada pembicaraan masa lalu apalagi masa depan.

“Duduk, Bi.” Naja memeberikan sebuah kursi untuk Bia duduki karena Saka yang asik berbincang dengan Bia malah tidak peduli dengan Bia yang sedari tadi berdiri.

“Makasih,” ucap Bia sebelum menduduki kursi tersebut.

“Bayu katanya mau ke sini. Mana?” tanya Naja pada Saka.

Renjana MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang