Arah Keputusan

217 24 0
                                    

Aku memilin ujung jilbab dengan perasaan tak karuan saat Ayah meminta jawaban. Terang, pria itu benar-benar datang untuk meminang. Sampai-sampai Ayah memintaku mengambil cuti untuk pulang. Hal yang semakin membuatku berat untuk mengatakan tidak adalah kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ayah. Kentara Ayah begitu senang mendapati Terang melamarku. Ternyata setelah bertahun lamanya kepercayaan Ayah padanya tak juga lekang.

Aku mendongak perlahan, melihat wajah Terang yang tertunduk. Detik berikutnya ia pun mendongak dan tersenyum tipis, membuatku kembali menunduk.

"Terang menunggu jawabanmu Naya," ucap Ayah lagi.

Aku merasakan suasana menjadi tegang karena sungguh demi apapun lidahku kelu meski hanya ingin sekadar berucap iya atau tidak. Aku menangkap pergerakan tangan Terang yang saling menggenggam erat. Seperti menahan kegelisahan.

"Bagaimana Ainayya? Apa kamu bersedia menjadi makmumku?" Terang mengulangi permintaanya.

Aku syok dan juga kaget. Bagiku ini terlalu tiba-tiba. Aku sungguh tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

"Apa kita tidak lebih cocok menjadi teman saja?" Kataku tiba-tiba.

Aku pun terkejut sendiri dengan apa yang ku ucapkan. Tapi itu adalah kalimat yang dulu selalu Terang katakan berulang kali. "Aku tidak baik untukmu Naya. Kurasa kita lebih cocok berteman saja."

Kata-kata itu hadir secara otomatis dalam ingatanku. Takut-takut aku melirik Terang. Raut wajahnya berubah sendu, sorot matanya memancarkan kesedihan. Mungkinkah Terang menyesal? Kupikir aku sudah bisa melupakan semuanya, bisa mengingat hari-hari patahku di masa lalu tanpa denyutan rasa sakit yang kembali muncul. Tapi untuk melupakan semua yang terjadi hingga detik ini tak semudah itu ternyata.

"Apa kamu menolak Terang, nak?" tanya Ayah.

Aku menatapnya sendu. Sejujurnya aku tak ingin mengecewakan Ayah. Aku sungguh ingin melihat Ayahku bahagia.

Allah, bagaimana ini?

Aku hanya diam, tak kuasa melihat Ayahku. Jika aku langsung memberi penolakan sekarang bukankah itu akan menyakitinya? Tapi jika aku memberi penolakan nanti pun akan tetap membuatnya sakit bukan? Oh, Allah. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

"Tidakkah ada kesempatan lagi untukku, Ainayya?" ucap Terang tanpa memandangku. Ia menyembunyikan wajahnya dengan menunduk.

Aku kembali menatap Ayah, beliau mengangguk dan tersenyum. Seolah meletakkan harapan besar terhadapku.

"B-Bolehkah aku istikharah dulu?"

Biarlah mereka menganggap aku ragu atau apapun. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu karena merasa terpojok. Apalagi ini untuk pernikahan. Salah satu bagian paling penting dalam perjalanan hidup. Aku ingin benar-benar pilihan Allah. Jika nanti Allah memberi petunjuk bahwa Terang adalah jodohku aku akan menerimannya. Jika sebaliknya, maka aku akan terus berdo'a agar Allah menuntun langkah ini bertemu pendamping terbaik menurut-Nya.

Akhirnya Terang dan keluarganya pulang setelah aku meminta waktu satu minggu lamanya. Sebelum benar-benar keluar, Terang sempat berbicara sesuatu yang membuat perasaanku semakin bimbang.

"Ainayya, sudah tidak adakah sedikit saja rasamu untukku?" tanyanya sebelum melangkah ke pintu ruang tamu.

Aku menunduk dalam, tak kuasa menatapnya barang sekilas.
"Aku tidak tahu, Terang," jawabku apa adanya.

Sepertinya itu bukanlah jawaban yang Terang inginkan. Ia meminta maaf padaku sekali lagi sebelum benar-benar berlalu.

°°°

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang