Perpisahan

335 39 4
                                    

Sebagian orang berfikir kelulusan adalah simbol kebebasan. Tapi bagiku kelulusan adalah langkah awal dari ujian yang sebenarnya. Ya, ujian kehidupan yang sesungguhnya.

Jika kebanyakan teman-temanku berpikir dunia sekolah adalah penjara. Setumpuk tugas dan kegiatan yang tak henti menguras pikiran dan juga kekuatan. Bagiku dunia sekolah adalah tempat terbaik untuk persiapan. Mengumpulkan bekal dan menangguhkan mental. Karena sungguh aku percaya. Di luar sana kehidupan yang akan kita tapaki tak pernah semenyenangkan dalam ekspetasi.

Namun lagi-lagi, manusia tempatnya lalai. Aku pun sering mengeluh saat mendapat tugas yang banyak. Sering menggadaikan waktu belajar dengan kegiatan lain yang tidak bermanfaat. Bahkan dengan bodohnya membiarkan waktu yang Allah berikan untuk beramal, terbuang dengan banyak mengingat manusia. Padahal terlalu banyak mengingat dunia dan manusia adalah sumber penyakit.

Aku terduduk di antara lautan manusia ber-jas hitam dan berkebaya di dalam gedung olahraga sekolah yang sudah disulap menjadi gedung untuk perpisahan. Pernak-pernik dekorasi berwarna emas dan maroon membuat ruangan ini terkesan elegan. Senyumku mengembang menatap satu persatu siswa-siswi yang maju ke depan. Menerima hasil dari perjuangannya selama tiga tahun menjadi pelajar SMK tercinta.

Cikal generasi selanjutnya yang akan terjun di dunia. Mengambil peran dalam estafet peradaban. Mengucap untai terimakasih kepada para guru. Tugas mereka selesai. Mengantarkan anak didiknya hingga pintu gerbang akhir. Untuk selanjutnya mereka menemui takdir masing-masing.

Serangkaian acara kami lewati dengan penuh haru. Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang singkat. Banyak kenangan dan kejadian yang sudah terikat dan melekat dalam daya ingat.

Senyumku mengembang melihat Zayan, Tiko dan Fauzi ikut mengisi barisan sepuluh besar siswa dengan nilai terbaik dari semua jurusan. Aura mereka terpancar, terlihat lebih tampan dalam balutan jas hitam yang kontras dengan warna kulit putihnya yang cerah. Membuat sebagian besar kaum hawa di ruangan ini memekik tertahan.

"Setdah, si kutu kupret ngapa kudu ganteng banget begitu sih. Mancing buaya-buaya betina aja tuh anak!" Cerocos Naifa dengan sorot mata penuh kecemburuan menatap Zayan. Mungkin ia merasa tak terima sang pujaan hati menjadi sorot perhatian hari ini.

"Termasuk kamu juga Fa?" tanyaku meledeknya.

Naifa berdecak pelan, ia mengalihkan pandang dari Zayan ke arahku.

"Ya ngga gitu juga, Nay. Gue mah dia mau pake jas, mau pake baju gembel, mau lagi ngupil kek tetep suka gue," bela Naifa.

Aku terkekeh mendengar jawaban Naifa. Bagaimana mungkin aku akan tega melukai Naifa. Demi Allah, aku ingin Naifa bahagia.

Serangkaian acara kami lewati dengan khidmat. Air mata tak dapat ditahan saat perwakilan dari murid membacakan untaian rasa terimakasih pada para guru dan salam perpisahan pada semua murid. Sungguh, perjalanan ini, kebersamaan ini takkan pernah bisa dibayar dengan kenangan manapun. Menjadi saksi dari langkah-langkah pertumbuhan hidup.

Aku memeluk Naifa dengan erat. Merasa tidak siap untuk kehilangan waktu bersamanya.
"Nanti di Semarang jangan lupain aku ya Fa,"

Naifa melerai pelukanya, ia tersenyum dan mengangguk.
"Kita masih bisa tetap curhat-curhatan kan, Nay?" tanyanya dengan nada sendu.

"Tentu saja."

Selanjutnya kami foto bersama teman sekelas dan berkenalan dengan orang tua teman-teman yang lain.

Sejenak aku menjauh dari kerumunan, aku naik dan duduk di tribune gedung olahraga ini. Menatap lautan manusia di bawah sana. Tribune yang akan sesak dengan gema pendukung saat class meeting atau acara lainnya, yang akan menjadi tempat terbaik untuk tidur siang saat pelajaran kosong. Sungguh, aku ingin mengenang setiap jengkal tempat di sekolah ini untuk yang terakhir.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang