Secercah Cahaya

991 61 7
                                    

"Bukan salah hati meletakkan rasa, ini salah manusia yang tak pandai mengendalikanya. Bukan salah rasa tak bisa mudah melupa, namun salah napsu terharumi euforia fana."

🍁🍁🍁🍁🍁

Tak terasa tiga bulan berlalu dengan cepat, waktu terasa melaju kilat dan teramat singkat, serentetan ujian pun berjejer membuat pikiran makin berat.

Aku duduk di serambi mushola, mataku melirik sepasang sepatu yang tergeletak rapi di batas suci mushola khusus ikhwan. Decitan pintu yang bersentuhan dengan lantai terdengar, menampakkan sosok jangkung itu, pemilik sepatu yang sedang kutatap.

Aku mendongak dan melempar senyum tipis. Kemudian kuambil buku bersampul coklat dari dalam tas-ku. Lalu kuletakkan di sampingnya.

"Udah selesai bacanya?" tanyanya seraya memasang sepatunya.

Aku mengangguk." Jangan lupa bawa yang lain ya," pintaku.

Dia terkekeh. Beberapa bulan mengenalnya ditambah dia yang tak pernah absen menjadi partner shalat dhuhaku membuat kecangungganya perlahan mencair. Dia sudah tidak sekaku dulu berinteraksi dengan lawan jenis. Meski tetap saja, dia masih termasuk spesies laki-laki langka di masa kini yang perlu dilestarikan.

Selain hapal banyak hadits di luar kepala, pria berdarah Jawa-Sunda itu ternyata juga perpustakaan berjalan. Dia sering meminjamiku buku non-fiksi maupun novel religi yang memberi motivasi. Sedikit banyak aku jadi tahu kisah-kisah inspirasi dari membaca buku-bukunya. Apalagi jika aku tidak paham jalan ceritanya, dia akan menjelaskan padaku dengan penuh kesabaran. Terlihat antusias sekali jika dia suka berbagi ilmu dengan orang lain.

"Sepertinya kutu bukumu akan permanen. Hampir semua novelku sudah kamu santap habis, loh," katanya masih terkekeh.

Aku nyengir." Namanya juga belajar. Apalagi gratis." Aku semakin melebarkan senyuman.

Fauzi hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala, ia sibuk mengaitkan tali sepatunya.

Seseorang yang baru saja keluar dari mushola mengambil tempat duduk tepat di samping Fauzi. Dan masih saja, hatiku kembali berulah bahkan setelah berbulan-bulan lamanya. Ia menoleh, mengangguk dan tersenyum samar kepadaku. Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum tipis.

Terang, pria itu. Kini, ia semakin terlihat menawan saja di mataku. Setiap pagi, dia juga melaksanakan shalat dhuha di mushola sekolah. Setiap waktu asar tiba. Suara merdunya juga akan terdengar mengumandangkan azan. Bagaimana aku bisa dengan mudah melupakanmu? Katakan mengapa kamu lakukan ini Terang? Bagaimana aku bisa memperbaiki diri sedangkan rasa terlarang ini masih bersarang di dasar hati. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku ke masa depan jika rasa tak wajar ini masih saja memaku pada hatimu. Ah, ini bukan salah rasa di hati. Salahku yang tak bisa mengendalikan diri. Ini juga bukan salah rasa berlabuh pada hati yang tak seharusnya. Salah napsuku yang kekeh mendekap euforia fana.

Sejak hari di mana Zayan kecelakaan, komunikasiku yang sempat membaik dengan Terang kembali mencipta jarak. Meski kuakui lebih baik dari dulu. Jika dulu kami hanya saling melempar tatapan datar dan berlalu tanpa sapa. Kini, ia akan tersenyum dan sesekali menyapaku.

"Nay," teguran Fauzi mengagetkanku. Aku mengerjapkan mata dan menatapnya bingung.

"Kamu kenapa? Kamu kenal sama dia?" tanyanya seraya menoleh ke arah Terang yang berjalan melewati area bengkel mesin.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang