Jawaban Lamaran

231 24 2
                                    

"Fauzi?"

Pria itu menyunggingkan senyuman dengan sejuta pesona. Kharismanya belum pudar juga setelah sekian lama. Ia berjalan dan ikut duduk di batas suci berjarak cukup jauh dariku. Namun masih bisa terdengar saat bicara. Beruntung serambi masjid ini ramai, jadi kami tak berduaan.

"Apa kabar Naya?" tanyanya.

Aku berkedip beberapa kali. Masih sedikit terkejut dengan kehadiran Fauzi yang tiba-tiba.

"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?"

"Baik Alhamdulillah," jawabnya.

Rasa canggung mulai menyapa. Apalagi mengingat kejadian terakhir yang aku alami dengan Fauzi. Aku menolak pinangannya tanpa menyampaikan langsung padanya. Karena saat itu aku masih di Jakarta dan Fauzi melamarku pada Ayah di kampung halaman. Jadi, semuanya kuserahkan pada Ayah. Fauzi juga tidak pernah menghubungiku secara pribadi. Ia hanya berkomunikasi dengan Ayah dan Mas Abyan. Tapi, bertemu dengannya secara langsung seperti ini rasanya aku sedang terjebak dalam suasana canggung  yang tak mengenakkan.

"Nenek apa kabar?" kataku. Memecah keheningan.

Fauzi tersenyum sekilas.

"Nenek sudah dipanggil Allah sejak satu tahun yang lalu," katanya.

Aku langsung mengucapkan kalimat istirja', aku tidak tahu kalau nenek Aminah sudah meninggal. Kenapa tidak ada yang memberitahuku?

"Oh iya, nenek pernah titip ini, Nay."

Fauzi menyodorkan kotak, ia langsung membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya. Beberapa buku bertema islami yang sekarang sudah langka dan sulit ditemukan di toko buku. Tapi aku yakin isi dari buku itu sangatlah berharga.

"Bersama sebuah amanah untuk meminangmu satu tahun yang lalu. Saat nenek masih terbaring di rumah sakit," lanjutnya.

Dengan tangan bergetar aku menerima kotak itu. Dan perkataan Fauzi barusan bagai listrik yang menyambar aliran darahku. Nenek Aminah yang meminta Fauzi melamarku? Kenapa aku tidak tahu alasan itu? Aku menolak Fauzi tanpa pertimbangan sama sekali. Aku pasti melukai nenek Aminah.

"Nenek memberi amanah itu padamu?" tanyaku dengan nada bergetar.

Aku mendongak untuk melihat Fauzi. Tak menatap langsung ke matanya, namun pada satu arah yang sama dengannya. Aku pun mengerti Fauzi melakukan hal yang sama. Dia masihlah pria langka.

Fauzi mengangguk tanpa melepaskan senyumnya.

"Sebenarnya nenek sudah sakit sejak lama. Itu juga yang menjadi salah satu sebab terkuat kenapa aku bisa nekat pindah sekolah dulu meski ujian tinggal sebentar lagi. Salah satu cita-cita nenek adalah menyaksikan aku dan kakakku menikah sebelum ia wafat. Dan seperti yang sudah terjadi setahun lalu nenek memintaku meminangmu, Ainayya."

Air mataku menetes mendengar setiap kata yang terlontar dari bibir Fauzi. Aku merasa menjadi manusia yang paling jahat. Kenapa dulu aku tidak mempertimbangkan dulu semuanya, kenapa aku tidak mencari tahu dulu. Kenapa aku tidak mencoba bicara meski memang kenyataanya aku belum siap untuk menikah. Setidaknya aku tidak akan terlambat tahu dengan menyakitkan seperti ini bukan? Tapi dulu aku masihlah Naya yang ketakutan untuk memulai membuka hati lagi. Dan semua sudah terjadi, hanya sesal yang kini menghampiri.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang