Tabir Luka

198 24 0
                                    

"Kau siapa?"

Aku masih mematung di depan pria yang kini tengah menatapku itu. Memperhatikannya lebih jeli lagi. Wajahnya, matanya, gaya rambutnya, semua memang milik Zayan. Yang membuat berbeda adalah style pakaian yang dia kenakan. Jika Zayan terbiasa  memakai pakaian bergaya minimalis tapi tetap keren. Pria di hadapanku memakai koko dan celana cingkrang. Khas para akhi yang sering aku lihat di kajian.

"Aku..."

"Yan..." suaraku terhentikan oleh suara yang lain.

Aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Om Adrian berdiri dengan mata berkaca-kaca, juga senyum yang merekah. Perlahan ia mendekat dan menyentuh bahu pria yang sampai sekarang masih kuyakini itu adalah Zayan.

"P- papa?" panggilnya sendu.

Om Adrian mengangguk, detik berikutnya mereka langsung berpelukan dan menangis. Bahkan Om Adrian sampai terisak dan memeluknya begitu erat. Seolah sudah lama sekali tidak bertemu. Seseorang tolong katakan! Apa aku sedang menonton sinetron atau menyaksikan pertunjukan drama sedih sekarang?

Lama aku hanya bungkam. Menyaksikan dua pria berbeda generasi di depanku yang sepertinya sedang melepas rindu.

Beberapa waktu selanjutnya akhirnya kami bertiga duduk untuk makan bersama.

"Naya, ini Rayan. Rayan Farhan Muttaqi, adik kembar Zayan," kata Om Adrian yang langsung membuatku tersedak minuman.

Aku terperangah saking tidak menyangkanya Zayan mempunyai kembaran. Sangat mirip hingga aku tidak bisa mengetahui kalo itu bukan Zayan.

Pantas saja saat bertemu waktu itu dan aku menceritakan tentang ketidaksengajaanku melihat Zayan membuat Om Adrian terkejut dan buru-buru pergi. Serumit apa lagi hidupmu Zayan?

Rayan mengangguk dan tersenyum sopan. Aku kembali menoleh kepada Om Adrian dengan raut wajah bingung.

"Ceritanya panjang, Nay," kata Om Adrian lagi.

Aku mengangguk mengerti. Mencoba meredam sekumpulan pertanyaan di dalam hati.

"Rayan, maafkan papa," katanya sambil menunduk.

Satu tetes air kembali meluncur dari mata Rayan. Pria itu menggeleng dan mencium tangan om Adrian.

"Papa nggak salah. Semua sudah kehendak Allah, Pa."

Ucapan Rayan begitu halus masuk ke dalam hati. Aku memang tidak tahu permasalah apa yang pernah terjadi. Tapi aku berasumsi Rayan adalah pribadi yang sangat bijaksana menghadapi masalah.

Aku tersenyum haru melihat pemandangan romantis melebihi pasangan-pasangan muda yang sedang mekar-mekarnya merasakan aroma cinta. Kasih sayang seorang Ayah untuk putranya dan juga sebaliknya.

"Kamu tinggal di mana sekarang? Bagaimana kabar mama?" tanya Om Adrian lagi.

Sorot mata Rayan kembali berkaca, namun bibirnya mengulas senyum tipis.

"Allah lebih sayang mama, Pa. Dua tahun yang lalu Allah sudah memanggil mama untuk kembali."

Hatiku mencelos mendengar penuturan Rayan. Air mataku merebak seolah ikut tersetrum kesedihannya.

"Innalillahi wa innailaihi ro'jiun...." ucapku dan Om Adrian.

"Lalu kamu tinggal sama siapa, Nak?" Raut wajah Om Adrian begitu tegang. Seakan jawaban selanjutnya yang akan diberikan Rayan adalah sebuah bom yang akan menghancurkan benteng hatinya.

Lagi-lagi pria itu tersenyum.

"Rayan sendiri, Pa. Sudah lama Rayan cari Papa, Kak Zayan, juga Kak Nasya. Tapi tidak pernah ketemu. Rayan juga sudah pernah kembali ke rumah kita yang dulu. Ternyata Papa udah nggak tinggal di sana lagi."

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang