Dialektika Rasa

758 48 7
                                    


"Mungkin kita adalah sekumpulan cerita yang mencoba mencari makna dari dialektika perihal rasa. Meski tetap saja kesimpulannya. Harus melalui luka."

🍁🍁🍁🍁

Kakiku baru saja keluar dari pintu toilet perempuan di dekat parkiran. Bersamaan dengan itu sepasang kaki yang lain juga baru saja keluar dari toilet sebelah.

Saat aku menoleh ke sisi kanan mata kami beradu pandang. Menjalarkan kecanggungan dalam ruang diam sampai akhirnya pada detik ketiga kami sama-sama memalingkan wajah. Beristighfar dalam hati.

Aku melangkah hendak menuju lantai atas. Karena ruang ujianku ada di lantai atas. Ini adalah hari ke-3 ujian sekolah. Terasa semakin sedikit saja waktu yang tersisa di sekolah ini.

"Nay, tunggu." Suara bass itu kembali menyapa telingaku. Dan hatiku yang bereaksi.

Aku memutar badan, berusaha memperlihatkan mimik wajah senormal mungkin.

"Ya?"

Dia menundukkan pandanganya. Menambah keteduhan dalam wajah yang hingga saat ini aku yakin lebih sering terbasuh air wudhu.

"Pulang sekolah bisa bicara sebentar?" Dia mendongak melihatku, membuatku kali ini yang menundukan pandangan. Jari jemariku saling menggenggam. Menahan kegugupan.

"Mau bicara apa ya?"

"Keira," jawabnya pelan. Aku refleks mengangkat wajah.

"Dan kita." Lanjutnya.

Aku bergeming di tempat. Keira dan kita? Apa maksudnya. Aku tidak ingin lagi membahas apapun di masa lalu. Tapi melihat ekspresi Terang yang seperti memendam suatu masalah aku merasa memang ada yang perlu diluruskan. Aku menimbang keputusan. Tapi bel masuk membuyarkan semuanya.

"Baiklah." Jawabku akhirnya.

Aku berlari kecil menaiki tangga dibarengi suara notifikasi ponsel yang lupa aku silent. Sebelum guru pengawas datang, cepat-cepat aku mengambilnya dan mengubah modenya menjadi silent. Pesan masuk dari Terang.

"Ku tunggu di Baiturrahman."

Aku tak mungkin menghadapi ini sendiri, tapi aku juga tak mungkin mengajak Naifa. Rumah kita beda jalur. Ah, kupikirkan saja nanti. Ada matematika yang menanti untuk kupikirkan mati-matian.

****
"Terus lo mau gimana?" tanya Naifa di sela memakan keripik.

Aku ikut mencomot keripiknya dan memakannya sambil merenung.

"Ngga tahu, kalaupun ngga ada temanya juga ngga masalah sih sebenernya kan di sana selalu ramai orang. Tapi aku takut aja," ungkapku.

"Takut baper terus nangis guling-guling ya?" Naifa cekikikan.

Aku menghadiahinya dengan tatapan sinis.

"Atau gue ikut aja gimana? Nginep di rumah lo."

Mataku berbinar-binar mendengar penuturan Naifa. Ternyata Allah benar-benar mengirimkan sahabat yang sangat pengertian padaku. Aku sungguh sangat beruntung memiliki sahabat yang selalu ada untukku.

"Tapi boong."

Jleb!

Benar kata Ali bin Abi Thalib. Berharap pada manusia emang pahit. Apalagi manusia semacam Naifa, ngga cuma pahit lagi. Tapi getir, asin, dan ngga enak.

Ya Allah, baru saja tadi aku mengungkapkan rasa syukur. Sekarang aku ingin mengeluh. Beri hamba kesabaran. Allah bersama orang-orang yang sabar.

"Ngga usah ngomong deh kamu," ucapku kesal.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang